Menghadapi pandemik Corona yang belum ada tanda-tanda menurun ini, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf telah mengeluarkan paket kebijakan yang sedikit melegakan. Kebijakan itu memang harus diapresiasi tetapi harus tetap dikritisi dan bila perlu dianulir karena terasa agak kenemenen (kebablasan) dan kurang realistis yang berpotensi mengorbankan berbagai pihak. Memang mustahil ada kebijakan yang bisa menyenangkan semua pihak, tetapi harus dipikirkan sebuah kebijakan yang tidak mengorbankan banyak pihak. Itulah pentingnya sebuah kebijakan yang terukur dan tepat guna.
Kebijakan pertama seperti yang sudah saya usulkan adalah Jaring Pangaman Sosial (social safety net) dengan memberikan bantuan terhadap masyarakat miskin yang terkena dampak dari Corona. Tetapi bila pemberian bantuan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) itu menggunakan basis data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima Bantuan Sosial (Bansos) dalam program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kemensos yang berkisar sekitar 15,6 juta keluarga atau katakanlah menggunakan data orang miskin di BPS yang sebesar 9,22% atau sekitar 24,79 jiwa itu tetaplah kebijakan yang kurang realistis.
Argumentasinya, yang paling merasakan dampak wabah Covid 19 ini adalah masyarakat urban dan miskin kota yang tidak semuanya tersentuh program BPNT. Angkanya bisa dipastikan jauh lebih besar bila diambil dari angka rakyat miskin 9,22 % plus taruhlah kelas middle-up (menengah keatas) kita sekitar 20 %, maka jumlah kelompok ini bisa mencapai sekitar 71 %. Masyarakat setengah miskin ini mayoritas tidak memiliki tabungan serta cadangan makanan di rumahnya masing-masing. Ini berbeda dengan masyarakat miskin pedesaan yang rata-rata masih memiliki cadangan beras sisa panen mereka. Disinilah pentingnya social mapping (pemetaan sosial), untuk menentukan tingkat kebutuhan mereka.
Selain kebutuhan pangan, kalangan urban ini masih harus menanggung beban cicilan atau biaya kontrak rumah yang tidak bisa diundur. Belum lagi kebutuhan mereka untuk membayar rekening listrik, artinya semua BUMN harus dimobilisir untuk meringankan beban kalangan miskin kota. Untuk ukuran BUMN seperti PLN beban ini mungkin tidak terlalu berat, karena pemberian diskon ini hanya berlaku sekitar 1-2 bulan seiring meredanya wabah Corona. Tetapi bagi kalangan yang berpenghasilan pas-pasan akan cukup membantu.
Kebijakan kedua yang layak untuk dikritisi adalah adalah relaksasi kredit terutama untuk sector UMKM. Paket kebijakan rescheduling dan refinancing selama satu tahun ini terdengar sangat indah bagi kalangan debitur. Tetapi kebijakan selama satu tahun itu pasti akan memukul sektor perbankan dan perusahaan finance. Apalagi sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait debt collector itu (MK) No 18/PUU-XVII/2019, tentang Jaminan Fidusia yang secara otomatis akan sangat memukul sektor perbankan dan financing yang sering menggunakan jasa mereka. Maka selain kebijakan itu telah menabrak ketentuan sesuai dengan pasal 15, UU No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga akan memberikan dampak PHK massal bagi perusahaan finance sekaligus eksternal collection.
Padahal jumlah karyawan perusahaan collection yang tergabung dalam Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan (SPPI) ini diprediksi mencapai ratusan ribu. Kebijakan itu selain menciptakan ketidak pastian hukum karena melemahkan hak eksekutorial bagi para kreditur juga akan menjadi modus bagi para debitur nakal untuk ngemplang utang dengan semaunya. Padahal sesuai dengan konsideran pembentukan UU No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, perusahaan finance dan perbankan itu hadir untuk menjadi katalisator perekonomian nasional, dan perlu mendapat perlindungan hukum.
Idealnya, keringanan hutang itu hanya berlaku selama triwulan atau maksimal satu semester sehingga dunia perbankan dan perusahaan finance masih bisa bernafas dan tidak sampai gulung tikar. Jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan itu, niscaya akan melahirkan tuduhan baru jika kebijakan itu adalah kebijakan politis yang diberlakukan untuk menyenangkan sekelompok masyarakat tetapi mengorbankan kelompok lain.
Memang semua pihak harus menyatukan pandangan dan langkah untuk melawan wabah Corona secara bersama-sama, tetapi seharusnya setiap kebijakan itu harus berasal dari pikiran yang jernih. Sayangnya, think tank pemerintah kurang jeli dalam merumuskan kebijakan terutama dalam masa-masa genting seperti saat ini. Kesalahan kebijakan itu hanya akan melahirkan potensi terjadinya gejolak sosial di kemudian hari.***