a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Kebutaan Dan Kematian Massal Pers Indonesia

Kebutaan Dan Kematian Massal Pers Indonesia
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Tokoh pers Philipina, Beniqno Jamel Aquino secara heroik menempatkan pers sebagai intitusi oposan terhadap pemerintahan Ferdinand Marcos yang tiran dan korup. Bahkan suami dari mantan Presiden Philipina, Corazon Aquino ini telah menjadi martir bagi perjuangan bangsanya dari belenggu rezim Marcos. Benigno meninggal secara tragis karena diberondong peluru oleh para loyalis Diktator Philipina itu.

Kematian Benigno inilah yang mengilhami terjadinya Revolusi EDSA atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Kuning yang berhasil menumbangkan pemerintahan Marcos yang dikenal sebagai salah satu diktator paling sukses di Asia Tenggra. Kolaborasi antara kekuatan pers dengan kekuatan agama dibawah komando Kardinal Sin, pada akhirnya membawa perubahan kultur politik yang lebih demokratis di Philipina. Revolusi itu tercatat sebagai salah satu revolusi yang mulus.

Mahzab pers sebagai kekuatan oposan terhadap pemerintah juga pernah dicetuskan oleh tokoh pers Indonesia, PK Ojong yang dikenal sebagai pendiri Harian Kompas bersama dengan Jacob Oetama. Tak bedanya dengan Benigno, PK Ojong juga dikenal antipati terhadap media yang memiliki mental ‘penjilat’ tehadap penguasa. Menurut PK Ojong ‘khitah’ pers itu membawa semangat oposan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sebagai alat sosial kontrol.

Bahkan Thomas Jefferson telah menempatkan pers sebagai pilar demokrasi ke empat. Karena sesuai dengan tesis Karl Raymond Propers yang lebih dikenal dengan teori Properrian, kritik merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses demokratisasi. Dan pers merupakan sarana vital untuk melakukan kritik terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.

Sementara menurut tokoh pers Nigeria, Ray Eckpu perlu standarisasi serta kualifikasi jurnalisme tersendiri untuk negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi. Berdasarkan tesis Ray Eckpu itu, Indonesia yang dikenal sebagai negara yang sedang mengalami transisi demokrasi memerlukan kualifikasi jurnalisme khusus. Jurnalisme yang bisa melakukan kontrol sekaligus menyodorkan solusi bagi persoalan bangsa yang kompleks.

Pers Indonesia Masih Suka Melakukan Korupsi Informasi
Saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, ada proses ‘pemurtadan’ terhadap fungsi pers sesuai dengan Mahzab Benigno atau PK Ojong. Pers Indonesia saat ini masih sering melakukan ‘korupsi informasi’ dalam bentuk mark up informasi (dalam bentuk melebih-lebihkan informasi/hiperbola) atau justru pengurangan volume informasi. Bukti teraktual adalah moment Reuni 212 yang notabene dihadiri jutaan massa, tetapi ada media yang hanya memberitakan 400 ribu massa.

Kebijakan keredaksian sangat tergantung dari orientasi politik sang pemilik media.
Lebih tragis lagi, banyak media terutama media mindstream yang justru tidak memberitakan moment tersebut. Sikap ini jelas sangat mengkhianati Tupoksi pers yang sering dianalogikan oleh tokoh pers Mark Twin, jika pers adalah mata dan jendela dunia. Maka orientasi politik telah membutakan mata pers Indonesia secara massal. Padahal banyak pers asing serta tokoh asing yang memberitakan peristiwa tersebut sekaligus memuji sebagai peristiwa yang menakjubkan. Protes secara damai yang dilakukan oleh jutaan massa itu sangat fenomenal dan kalau mau jujur itu merupakan konsolidasi demokrasi yang hebat, tetapi justru dikesampingkan oleh pers nasional.

Meski tidak bisa disamakan antara kondisi Indonesia saat ini dengan kondisi saat Philipina melakukan Revolusi Kuning yang dikomandani oleh Kardinal Sin. Pertanyaan, ada apa dengan pers Indonesia sangat layak untuk diapungkan kepada semua pihak.

Kematian Pers Indonesia Secara Massal
Selain fakta terjadinya kebutaan massal yang dialami oleh pers Indonesia, adalah adanya fakta mencengangkan jika saat ini telah terjadi kematian massal. Seperti diketahui ketika Jokowi didaulat sebagai Presiden RI menggantikan SBY. Beleid pertama yang dilakukan adalah pemotongan anggaran besar besaran sekitar Rp 136 trilun. Salah satu pos anggaran yang dipotong itu adalah anggaran sosialisasi program. Kebijakan itu dibungkus dengan retorika yang manis, tidak perlu sosialisasi yang penting kerja. Karena sosialisasi cenderung hanya pencitraan, padahal kerja nyata itu jauh lebih penting.

Secara harafiah niatan itu sangat mulia, tetapi yang tidak pernah disadari jika dengan pemotongan itu, harapan media massa untuk memperoleh iklan baik dalam bentuk advetrorial maupun program sosialisasi lainnya menjadi musnah.Padalah basic income media itu adalah iklan dan sirkulasi.Maka secara perlahan kini jumlah media menyusut drastis alias telah mengalami kematian massal. Jika pada era Pemerintahan SBY jumlah media cetak dan elektronik itu mendekati seribu buah, kini berdasarkan data di Dewan Pers jumlah perusahaan media yang telah terverifikasi tinggal 141 perusahaan.

Meski kematian pers itu tidak semata-mata karena faktor belanja iklan dari pemerintah yang nihil. Apalagi kini mulai berlaku ketentuan jika instansi pemerintah tidak akan melayani media yang tidak terverifikasi oleh Dewan Pers.Bisa dibayangkan jika satu perusahaan media itu memiliki wartawan dan karyawan sebanyak 10 orang, maka bisa dihitung berapa banyak jiwa yang telah kehilangan pekerjaan sebagai dampak dari beleid itu.Padahal mereka juga punya kontribusi untuk memperkenalkan Jokowi ke publik, sebelum mantan Walikota Solo itu mencalonkan diri.

Tragisnya lagi dalam proses budgeting yang dilakukan oleh setiap institusi/departemen di DPR, acuan anggaran sosialisasi itu adalah media mind stream yang notebene telah memiliki kelebihan kompetitif dibandingkan dengan media-media kecil. Berdasarkan realitas itu maka kini boleh terbilang mustahil media kecil bisa menikmati kue iklan dari pemerintah. Kecuali yang memiliki kedekatan khusus.

Maka antara minimnya anggaran sosialisasi serta kewajiban melakukan verifikasi perusahaan media, bisa menjadi ayakan yang efektif untuk menyaring media yang dianggap ‘layak’ atau tidak. Sekaligus melahirkan pertanyaan adakah korelasi antara kebutaan massal yang dialami oleh media mindstream dengan kematian massal yang dialami oleh media-media kecil. Silahkan disimpulkan sendiri. ***
Opini Kebutaan Dan Kematian Massal Pers Indonesia