a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Kenapa Bisa Kecolongan Lagi ?

Kenapa Bisa Kecolongan Lagi ?
Ilustrasi Demonstrasi di Indonesia
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Bumi pertiwi kembali berduka dan meneteskan air mata, setelah puluhan jiwa melayang sia-sia di Papua. Unjuk rasa yang berujung huru hara  kembali terjadi  di beberapa wilayah Papua, yang mengkibatkan terenggutnya korban jiwa. Belum kering air mata di beberapa belahan wilayah Indonesia lainnya juga terjadi unjuk rasa yang berujung huru hara, seperti di Makassar, Surabaya dan Jakarta.

Bila di Papua unjuk rasa itu mengusung isu rasisme dan kesenjangan sosial,  tetapi di beberapa daerah lainnya unjuk rasa yang dilakukan oleh para mahasiswa itu mengusung isu penolakan terhadap proses revisi terhadap UU KPK serta revisi KUHP yang telah diusulkan oleh DPR. Demo merupakan salah satu cara untuk mengekpresikan kebebasan berpendapat yang telah dijamin dalam Pasal 28 E UU 1945. Karena kebebasan pendapat adalah prasyarat utama (qonditio sine qua non) sistem demokrasi.

Tetapi sejarah juga telah  banyak mengajari  kita jika setiap aksi massa itu selalu rawan untuk di tunggangi ‘penumpang gelap’yang ingin menitipkan  agenda haram.  Seperti misalnya adanya pihak yang ingin menumbangkan pemerintah yang sah. Yang masih segar dalam ingatan kita, aksi  kerusuhan  yang mendompleng terhadap gerakan massa menolak hasil Pemilu di depan Gedung Bawaslu, minggu pertengahan Mei 2019 lalu. Disinilah pentingnya langkah antisipasi tanpa mengurangi hak-hak masyarakat untuk mengemukakan pendapat.

Langkah antisipasif itu bisa dilakukan  dengan memberikan  informasi intelejien kepada Presiden tentang isu-isu yang krusial yang harus dihindari, misalnya adalah revisi UU KPK yang sangat sensistif karena merupakan amanah warisan dari mahasiswa angkatan 1998 terhadap para yuniornya. Maka isu pemberantasan korupsi akan selalu menjadi ‘amanah suci’ yang akan dikawal oleh setiap BEM dari semua universitas. Apalagi  bila proses revisi UU KPK itu berbarengan dengan revisi KUHP, yang secara subtansi mengandung pasal-pasal yang kontroversial. Sehingga memunculkan polemik dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Akan lebih bijak bila presiden menghindari proses revisi itu secara bersamaan, apalagi terindikasi jika proses revisi itu cacat moril dan materiil, karena tidak termasuk dalam Program Legasilasi Nasional (Prolegnas) serta tidak qorum dalam proses pengusulannya. Bila menggunakan konsideran itu presiden bisa menggunakan hak veto dan hak prerogatifnya untuk menerbitkan Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sehingga perdebatan itu tidak akan berkepanjangan.

Dalam UU 1945,   hak veto/prerogative atau kewenangan presiden itu telah diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi, (1).  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Maka bila presiden mau menerbitkan Perppu itu  secara dini, perdebatan itu secara otomatis bisa dihentikan sekaligus bisa dijadwalkan kembali pembahasan revisi itu sambil menunggu saat yang tepat.

Pertanyaanya, kenapa presiden terkesan ragu-ragu  dan tidak segera menerbitkan Perppu untuk menghentikan berbagai polemik itu. Apakah karena para pengusul proses revisi UU KPK dan KUHP justru banyak berasal dari partai-partai pendukung pemerintah sehingga menimbulkan sikap ewuh pakewuh tehadap para partai yang telah memperjuangkannya dalam Pilpres 2019 lalu, atau ada faktor lain.

Sehingga kini beban berat kembali dipikul oleh aparat kemanan, dalam hal ini Polri untuk mengungkap secara tuntas siapa yang berada dibalik aksi massa damai yang berujung terhadap kerusuhan itu. Setidaknya sama halnya seperti keberhasilan Polri mengungkap dalam kerusuhan di depan Gedung Bawaslu itu. Sehingga para penumpang gelap itu bisa terungkap identitasnya. Agar publik tidak akan bertanya-tanya siapa pihak yang ‘bermain’ terhadap aksi kerusuhan yang telah mengorbankan, harta, benda serta nyawa itu. Dan yang terpenting semua itu bisa menjadi pembelajaran sekaligus antisipasi agar hal serupa tidak terulang lagi.***  
Opini Kenapa Bisa Kecolongan Lagi ?