a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Ketika Hama Politik Menemukan Habitatnya

Ketika Hama Politik Menemukan Habitatnya
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Saat ini ada fenomena yang memperihatinkan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan negara. System demokrasi yang telah kita jalani selama 22 tahun, justru melahirkan banyak ‘hama politik’. Benalu politik ini berupa para politisi yang bermental pragmatis dan kutu loncat. Demokrasi baru sebatas dimaknai sebagai alat struggle of power (kuda troya untuk menuju pusat kekuasan), sehingga banyak kritik yang dikeluarkan bersifat personal dan tidak konstruktif. Bahkan hanya sebagai alat manuver agar diakomodir ke pusat kekuasaan atau bargain terhadap lawan politiknya.

Seperti diketahui, menurut Plato dan Aristoteles, demokrasi adalah bentuk negara yang paling ideal. Secara etimologis, demokrasi berasal dari terminologi bahasa Yunani, demokratia yang terdiri dari suku kata demos (rakyat) serta cratos (kekuatan). Sehingga Karl Raymond Propper dan Mc Ivir memberikan deskripsi, jika demokrasi adalah bentuk negara yang mengikut sertakan (memberi kekuatan) rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Ketika era kerajaan Yunani, rakyat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan negara, kondisi saat itu masih memungkinkan karena jumlah penduduk yang relatif sedikit. Sebuah negara hanya merupakan sebuah koloni (negara kota) yang tidak terlalu besar.

Demokrasi yang sehat sangat ditentukan oleh civil society yang kuat. Masyarakat madani atau civil society, adalah masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan serta penguasaan informasi yang memadai sebagai bahan referensi dalam menentukan sikap dan pilihan. Seperti halnya tesis, filsuf Francis Bacon yang menyatakan jika knowledge is power (pengetahuan adalah sumber kekuatan), pengetahuan itulah yang menjadi guiden (panduan) dalam menentukan sikap dan pilihan. Penentuan sikap dan kritik itu bukan didasari oleh sikap latah (ikut-ikutan) dan gumunan (gampang heran).

Maka disinilah peran sentral sekaligus tanggung jawab moral dari para politisi untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, minimal terhadap para konstituennya untuk menciptakan demokrasi yang beradab dan bermartabat. Karena secara empiris, kita yang baru menjalankan demokrasi selama 22 tahun ini masih pada tingkat yang sangat memperihatinkan. Demokrasi diintreprestasi dengan cara yang salah dan sering menciptakan kegaduhan yang tidak subtansial.

Kebebasan berbicara yang merupakan qonditio sine qua non (prasyarat utama demokrasi), dan dijamin oleh konstitusi sesuai pasal 28 UUD 1945 serta Pasal 19 Konvenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), faktanya masih dipergunakan secara serampangan dan ugal-ugalan. Atas nama demokrasi masih banyak orang yang bersikap waton bedo (asal beda) dan pating pecotot (asal bicara dan asal serang) yang pada gilirannya justru hanya menciptakan kegaduhan.

Tidak banyak orang yang mampu berpendapat secara argumentatif, sebagai bagian untuk mengkritisi kebijakan sekaligus memberikan konklusi, seperti halnya tesis Karl Raymond Proppers (properian) jika kritik merupakan bagian dari tentatif solutions. Lebih tragis lagi, demokrasi baru dimaknai sebatas sebagai sarana struggle of power (alat untuk mencapai pusat kekuasaan). Kondisi inilah yang membuat banyak pihak melakukan segala cara untuk memenangkan legitimasi sekaligus melakukan delegitimasi terhadap lawan politiknya.

Mulai dari menyebar hoaxs yang dimaksudkan untuk mendiskreditkan lawan sekaligus melakukan character assasination (pembunuhan karakter lawan), dengan harapan untuk menghancurkan kredibilitas lawan. Seakan para pihak lupa dengan fatsoes dan seloka Jawa yang agung, ngalahake tanpo ngasorake (mengalahkan tanpa mempermalukan lawan). Kontestasi dalam Pilpres 2019 lalu menjadi bukti yang empiris, distorsi nilai demokrasi terjadi secara massif.

Bukti teraktual adalah adanya kritikan pedas terhadap pemerintah yang memberikan vaksin secara gratis kepada masyarakat. Padahal para politisi yang menggunakan vaksin sebagai ‘senjata politik’ itu tidak memberikan solusi alternative sama sekali. Hingga saat ini belum ada solusi alternative untuk memberantas pandemi Covid-19, artinya pemberian vaksin itu adalah sebuah keniscayaan yang telah dilakukan oleh hampir semua negara di dunia.

Fenomena munculnya ‘hama politik’ ini merupakan buah dari proses amandemen terhadap UUD 1945 yang telah merubah banyak tatanan kenegaraan, baik dari Sistem Pemilu, Sistem Pemerintahan hingga Sistem Kepartaian. Sistem multi partai yang berbasis dari lima agama besar serta berbagai keyakinan akan membuat masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi banyak kelompok. Liberalisme politik melalui sistem multipartai, ini pernah dikritik oleh Scott Mainwaring kurang cocok dengan Indonesia. Dengan UU No 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan UU No 2 tahun 2008 tentang Parpol, siapapun bisa mendirikan partai asal memenuhi persyaratan administrasi dan ideologi.

Perubahan sistem inilah yang memberi ruang tumbuh suburnya partai. Sekaligus memberikan ruang terhadap Ormas-ormas yang memiliki ideologi yang kurang sejalan dengan ideologi Pancasila, meski saat deklarasi mereka menyatakan jika Pancasila adalah ideologi yang final. Maka sesungguhnya sistem multai partai inilah yang memberi ruang terhadap para politisi untuk bersikap pragmatis dan bemental kutu loncat. Setiap politisi yang mentok, di internal partainya pasti dengan mudah lompat ke partai lain, yang sering diikuti dengan serangan-serangan verbal yang dimaksudkan untuk membangun legitimasi pribadi. Bahkan tak jarang melakukan pembelaan secara membabi buta terhadap, induk semangnya yang baru.

Sehingga tak mengherankan bila jagad politik nasional selalui muncul kegaduhan –kegaduhan baru yang tidak subtansial. Bahkan tak jarang disusupi isu-isu sektarian yang akan direspon menggunakan isu sektarian juga oleh lawan politiknya yang pada akhirnya menjurus SARA dan disintegrasi bangsa. Selama sistem politik tetap seperti saat ini, kegaduhan poltik akan terus terjadi yang bila tidak diantisipasi akan melunturkan lem perekat kebangsaan.***
Opini Ketika Hama Politik Menemukan Habitatnya