Tahun pertama periode kedua kepemimpinan Jokowi ini menjadi fase yang sangat berat buat mantan Gubernur DKI Jakarta. Belum seumur jagung usia pemerintahannya pasca dilantik sebagai Presiden RI pada Oktober 2019 lalu, serangan pagebluk Covid 19 tak ubahnya seperti tsunami yang meluluh lantakkan berbagai aspek kehidupan. Indonesia menjadi salah satu dari sekitar 216 negara yang dibuat kelimpungan dalam menghadapi wabah yang berasal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China itu. Alokasi anggaran pembangunan yang telah disusun dalam APBN 2020 seketika menjadi ambyar.
Maka untuk menanggulangi Corona Disease 2019 (Covid 19), itulah pemerintahan Jokowi segera lakukan upaya cacut taliwondo dengan menerbitkan instrumen hukum ‘sapu jagat’ dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang, Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid 19. Untuk mendukung paket kebijakan itu pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun yang berasal dari dana realokasi, refocusing, serta mandatory spending (penyesuaian belanja negara) dalam APBN 2020.
Alokasi anggaran itu terbagi menjadi beberapa pos anggaran seperti, Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan serta Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat. Distribusi anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp 110 triliun itu diantaranya adalah, pemberian bantuan terhadap 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima Program Keluarga Harapan (PKH), dengan nilai bantuan dinaikan 25% setahun. Bantuan untuk 20 juta penerima kartu sembako yang naik 33 % selama 9 bulan. Pemberian bantuan terhadap penerima Kartu Pekerja sebesar Rp 20 triliun yang diprediksi bisa untuk mengcover 5,6 juta pekerja informal. Pemberian bantuan untuk subsidi tarif listrik dan kredit rumah serta pemberian paket sembako.
Pemberian bantuan melalui program Jaring Pengaman Sosial (social safety net) yang sebelumnya sering saya usulkan sebelumnya ini layak untuk diapresiasi sebagai upaya antisipasi (forward looking) terhadap kemungkinan terjadinya dampak susulan (contagion effect), tetapi kebijakan itu masih harus dibedah efektifitasnya. Seperti kita ketahui bahwa pandemic Covid 19 ini telah menyasar semua kalangan sehingga dampaknya menimpa semua strata social, baik kalangan miskin, setengah miskin, menengah serta yang kaya.
Namun hingga satu semester ini, kinerja para pembantu Jokowi masih memble meski telah mendapat bekal yang sangat ‘mewah’ berupa Perppu sapu jagat dengan alokasi anggaran yang wah itu. Alih-alih Jokowi bisa bernapas dengan lega, yang terjadi justru sebaliknya, mantan Wali Kota Solo ini dibuat nesu dan uring-uringan. Bahkan dalam Sidang Kabinet Paripurna, 18 Juni lalu, Jokowi tidak bisa menyembunyikan kegusarannya dengan marah-marah terhadap para pembantunya yang dinilai bekerja tidak sesuai yang diharapkan.
Maka sudah saatnya Jokowi melakukan upaya ‘cuci gudang’ dengan melakukan reshuffle (mengganti sejumlah menteri) kabinet terhadap para pembantunya yang tidak bisa bekerja sebagai mana mestinya. Bahkan dengan menggunakan Key Performance Indicator(KPI), Jokowi bisa memanfaatkan momentum reshuflle ini untuk mempergunakan hak prerogatifnya secara utuh tanpa harus dihinggapi oleh sikap ewuh pakewuh terhadap para partai pendukung menteri-menteri yang bersangkutan. Cukup menggunakan KPI seperti misalnya rendahnya penyerapan anggaran di departemen yang bersangkutan. Sehingga masyarakat tahu dasar pencopotan menteri-menteri yang dinilai memiliki kinerja memble.
Seperti diketahui hak prerogatif presiden dan sistem pemerintahan presidensial itu tak ubahnya hanya sekedar basa-basi politik selama menggunakan sistem multi partai serta presidential threshold, sebesar 20 %. Karena siapapun Capresnya harus menjalankan koalisi untuk mencalonkan diri sebagai Capres sekaligus dalam proses pembentukan pemerintahan. Dan tabiat para Parpol atau politisi kita sangat khas, seperti yang disinggung oleh tesis Charles Darwin, Max Weber maupun Ian Mc Allister, koalisi dibentuk bukan berdasarkan kesamaan platform partai tetapi berupa kepentingan politik jangka pendek. Mereka mau berkoalisi jika ada jaminan memperoleh kavling Kementerian apabila telah terpilih. Dilema itulah yang mungkin juga dihadapi oleh Jokowi ketika menyusun kabinet yang lalu, karena harus mengakomodir orang-orang partai pendukungnya meski mungkin kurang sreg.
Momentum reshuflle inilah yang diperlukan Jokwi untuk benar-benar menentukan pilihannya, tanpa rasa risih bila dikomplain oleh partai pendukung. Karena publik pasti tahu bahwa jagoan Parpol itu kualitasnya kurang. Setidaknya ada beberapa menteri yang kualitasnya dinilai kurang menonjol, seperti Menteri Kesehatan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia serta Menko Kemaritiman dan Investasi, tetapi ada juga beberapa menteri yang memperlihatkan kinerja yang cukup mengkilap seperti, Mensos dan Meneg BUMN yang memiliki peran yang cukup sentral dalam penangan wabah Covid 19.***