Ketika Wabah Corona Melahirkan Olok-Olok Terhadap Agama
Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Wabah Coronavirus Disease (Covid) 19 yang muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, akhir tahun lalu telah melahirkan krisis multidimensi. Tidak hanya krisis kesehatan, krisis ekonomi namun juga krisis sosial. Bahkan kini muncul fenomena olok-olok terhadap agama yang dilakukan oleh kaum atheis maupun kelompok yang kurang suka terhadap kelompok agama, baik yang menggunakan sindiran halus, satire maupun ironi hingga bahasa yang kasar (sarkasme). Semua hanya ingin menyatakan jika agama ternyata tidak mampu menolong kalangan beragama dari serangan Covid 19. Sindiran itu kini bertebaran di Medsos dan berbagai media konvensional.
Terpaparnya jemaat beberapa gereja, jama’ah tabligh, serta terpaparnya santri pesantren, dan ditutupnya Vatikan hingga liburnya pelaksanaan jamaah haji di Baitullah seakan menjadi penegasan tesis mereka jika kegiatan dan ritualisme agama sebagai bentuk permohonan langsung pada sang Khalik itu tetap tidak mampu menyelamatkan jiwa mereka dari serangan Covid 19. Terbukti hingga saat ini penyebaran virus itu belum ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan jumlah korban terus meningkat pesat.
Maka momentum wabah Corona bisa dijadikan sarana i’tibar (pembelajaran) serta instropeksi untuk merumuskan ulang tentang cara kita memahami serta mengamalkan agama yang baik dan benar. Agama bukan semata-mata sebagai metodologi kita untuk berkomunikasi dengan sang pencipta, habblumminallah melalui ibadah khusus (mahdhah), seperti sholat, zakat dan puasa tetapi juga sarana kita untuk melakukan ibadah sosial, habbluminannas melalui ibadah umum (ghairu mahdah) yang diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku (muammallah).
Saat wabah ini berlangsung kita harus melakukan reorientasi tidak hanya mengedepankan ibadah khusus yang bersifat simbolik dan ritualistik di tempat-tempat ibadah. Tetapi juga harus mengedepankan ibadah umum dengan peduli terhadap orang lain yang terkena dampak Covid 19. Untuk mencapai pribadi yang kaffah (holistik), maka kita harus bisa menjaga keseimbangan pola komunikasi antara habbluminnallah dan habbluminnas. Keseimbangan itulah yang selama ini sering kita tinggalkan hanya untuk mengejar kebahagiaan yang bersifat profan dan artifisial yakni berdasarkan status sosial dan materi yang kita miliki.
Yang tak kalah penting juga, wabah ini telah membuka mata kita bahwa harus ada keseimbangan antara pemahaman dalam kacamata filsafat jabariyah dan qodariyah. Pemahaman jabariyah adalah pemahaman meyakini semua yang terjadi ini adalah ketentuan illahi yang harus dijalani, sehingga kita cukup berdoa dan berserah diri terhadap semua ketentuan Illahi. Sebaliknya qodariyah adalah pemahaman yang menyatakan jika semua ketentuan itu masih bisa dirubah dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh pribadi itu sendiri. Dalam konteks jamaah dan jemaat yang terpapar Virus Corona itu, maka mereka tetap harus berusaha agar terhindar serangan virus dengan melakukan social distancing dengan menghindari kerumunan selama prosesi peribadatan agar terhindar dari Covid 19, tidak hanya cukup berserah diri kepada Tuhan yang maha baik.
Dalam persepektif historis, kitab suci Al Qur’an yang turun sekitar 14 abad lalu itu juga telah mengingatkan tentang bahaya virus Corona (thaun) sekaligus kewajiban umat untuk mengikuti social distancing seperti yang termakthub dalam QS Al Azhab 33 yang menyatakan, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,”.
Frase dalam ayat tersebut bisa menjawab doa persaoalan sekaligus, bahwa agama telah memberikan jawaban terhadap persoalan wabah yang saat ini terjadi, sekaligus menjelaskan bahwa pendekatan qodariyah (melalui proses ihktiar) itu harus dilakukan sebelum melakukan pendekatan jabariyah (berpasrah diri terhadap takdir illahi).
Ilmuwan asal Singapura yang menciptakan Rapid Test Covid 19, Prof Jackie Ying, telah mengeluarkan permis yang menarik, bahwa untuk mempelajari ilmu pengetahuan itu harus dimulai dari mengetahui agama. Karena menurut Ying yang kini jadi mualaf itu, agama telah mengatur sekaligus memberikan jawaban dari berbagai persoalan manusia. Terlepas dari mana agama itu lahir dan berasal. Dan bangsa ini juga dibangun dengan menggunakan pondasi agama sesuai dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara ini didirikan berdasarkan konsesnsus bersama antara umat beragama baik agama Samawi maupun agama Ardhi yang ‘diimpor’ dari berbagai tempat seperti Timur Tengah untuk agama Samawi maupun India untuk agama Ardhi. Konsesnsus itu diwakilkan kepada sosok para founding fathers kita. Kesimpulannya, olok-olok terhadap agama itu datang dari orang-orang yang cengoh (tidak cukup memiliki wawasan) serta kemlinthi (songong dan dangkal pemikirannya).***