a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Makar Sebagai Politik Halu

Makar Sebagai Politik Halu


Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ada fenomena yang menarik, setiap rezim yang berkuasa di republik ini pasti diselipi isu ada rencana penggulingan pemerintah yang sah oleh-oleh kelompok tertentu yang tidak puas dengan pusat kekuasaan. Belum lama ini berhembus isu adanya keinginan sekelompok orang yang tidak tahan menahan syahwat politiknya, untuk melakukan ‘suksesi dadakan’ sebelum berlangsungnya  Pemilu yang akan digelar tahun 2024. Tapi kini  isu itu menguap sebelum terungkap siapa dan bagaimana modus gerakannya. Sehingga masyarakat tidak bisa mengambil pelajaran sekaligus sebagai warning bila ada gerakan-gerakan serupa.

Sebelumnya, pada era SBY juga pernah berkembang isu serupa yang ingin menggulingkan kekuasaan SBY-Boediono oleh sejumlah tokoh, dan terbukti isu itu  sekedar pepesan kosong dan menguap dengan sendirinya. Bahkan pada era SBY tercatat beberapa kali hinggap isu kudeta. Sehingga mengapungkan sebuah pertanyaan besar, apakah  semua isu itu benar, bila benar oleh kelompok siapa dan bagaimana pola gerakannya, sehingga bisa membuat masyarakat waspada. Atau justru sebaliknya,  isu makar itu hanya sekedar politik halusinasi untuk mengail simpati masyarakat di tengah terjadinya proses deligitimasi kekuasaan.

Seperti diketahui bahwa makar atau anslag (bahasa Belanda) itu telah diatur dalam 25 Pasal pada KUHP yakni dari pasal 104 hingga pasal 129. Definisi makar  yang berasal dari bahasa Arab, makron berarti kurang lebih sebagai siasat busuk. Berdasarkan ketentuan KUHP itu secara detail telah dipaparkan syarat formil dan materiil tentang sesuatu perbuatan yang masuk kategori sebagai persekongkolan jahat sekelompok orang yang ingin menggulingkan dan mengganti pemerintahan yang sah. Bukti materiil itu diantaranya adalah violent attack, fierce attack atau adanya serangan yang kuat.

Ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam 25 pasal KUHP itu  sempat  dikeluarkan sebagai UU khusus (lex specialist) menjadi UU No 11/PNPS/1963 tentang Kegiatan  Subversi. Tetapi penerapan UU  Subversi oleh rezim Orde Baru menjelma menjadi UU ‘pukat harimau’ atau ‘pasal karet’ yang memberi ruang terjadinya pelanggaran HAM. Nyaris tak terhitung, banyak tokoh-tokoh yang dijerat menggunakan UU ‘sapu jagat’ itu. Sehingga berdasarkan UU No 26 tahun 1999 Undang-Undang itu dicabut, dan dikembalikan sesuai dengan ketentuan semula.        

Dengan pengembalian semua ketentuan itu sesuai dengan KUHP, sebagai negara penganut demokrasi, maka semua persoalan makar itu menjadi ranah pidana umum yang menjadi kewenangan polisi. Biarlah Laskar Bhayangkara itulah yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, sesuai dengan ketentuan KUHAP ketika muncul  indikasi adanya tindakan-tindakan yang mengarah ke perbuatan makar. Meski, polisi juga harus mendapat pasokan informasi dari Badan Inteljien Negara (BIN).  Dan kita berharap polisi menjaga sikap profesional dan independen dan bukan sub ordinat kekuasaan. Yang terkadang bersikap halu.    

Maka kita tidak boleh serampangan melemparkan isu adanya upaya kudeta, karena hanya akan melahirkan keresahan dan kepanikan di masyarakat. Apalagi bila yang melontarkan isu itu bukan dari institusi resmi milik pemerintah  seperti  Kepolisian,  justru dipertanyakan motif dibalik penyebaran isu makar dan rencana kudeta  itu. Karena orang yang dengan sengaja melemparkan isu-isu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan bertujuan untuk menciptakan kepanikan itu tak jauh bedanya dengan para teroris. Karena isu itu bisa memancing sikap saling mencurigai antara sesama elemen masyarakat. Sehingga orang-orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan menyebarkan isu serta berita bohong itu  minimal bisa dijerat dengan Pasal 28 ayat 1 UU ITE.

Dalam persepektif historis, tradisi kudeta dan makar atau pemberontakan di Nusantara yang kini menjadi Indonesia tidak begitu kuat. Pada era Kerajaan Majapahit tercatat ada beberapa gerakan kudeta yang pada akhirnya gagal seperti kudeta yang dilakukan oleh Prabu Minakjinggo, di Blambangan, Patih Nambi di Lumajang hingga Aria Penangsang di Demak. Dan semua kudeta dan makar itu bisa ditumpas dengan cepat.

Pada era Indonesia modern ini tercatat ada beberapa gerakan makar dan pemberontakan meski dalam skala  kecil seperti gerakan PRRI Permesta, DI TII, Peristiwa Cikini, dll. Satunya-satunya suksesi yang berbau makar sehingga disebut sebagai coupe de’etat (kudeta merangkak) adalah proses terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang melalui proses penolakan laporan pertanggung-jawaban Presiden Soekarno, Nawaksara oleh MPRS yang diketuai oleh AH Nasution. Alasan penolakan itu karena munculnya kasus Gestok/Gestapu. Penolakkan itulah yang menjadi dasar, terjadinya pergantian tampuk kekuasaan dari Soekarno-Soeharto.***
Opini Makar Sebagai Politik Halu