a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Masih Relevankah Politik Luar Negeri Bebas Dan Aktif

Masih Relevankah Politik Luar Negeri Bebas Dan Aktif
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Lemahnya diplomasi pemerintah Indonesia dalam menghadapi berbagai konflik kawasan menimbulkan pertanyaan besar, masih relevankah politik luar negeri bebas dan aktif yang kita anut ?.

 Seperti diketahui, sesuai dengan UUD 1945 yangmenjadi landasan konstitusional, Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Serta alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan . "dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,". Berdasarkan norma-norma dalam konstitusi itu Indonesia pernah begitu aktif membantu bangsa lain untuk berjuang memperoleh kemerdekaan. Tercatat beberapa negara-negara dunia ketiga di kawasan Asia dan Afrika merasa jika Indonesia memiliki jasa besar bagi kemerdekaannnya terutama pada era Presiden Soekarno yang dikenal sebagai tokoh yang visioner dan hegemonik. Bahkan sebagai ejawantah dari konstitusi itu Indonesia telah menginisiasi beberapa kerjasama bilateral maupun multirateral yang bebas, seperti gerakan Non Blok maupun ASEAN.

Namun adanya konflik Indonesia dengan Malaysia terkait kepemilikan Pulau Ambalat, Sipadan dan Ligitan yang tak jelas jluntrungannya memunculkan gugatan seberapa manfaat politik luar negeri itu. Loyonya diplomasi itu melahirkan pertanyaan apakah politik itu luar negeri yang bebas dan aktif itu masih efektif untuk melindungi kepentingan nasional, terutama dalam mengadapi negeri jiran yang bawel itu. Dalam konflik itu, klaim pemerintah Indonesia atas kepemilikan pulau-pulau itu karena alasan historis sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Bulungan ternyata dipandang sebelah mata oleh Mahkamah Internasional.

Lembaga kehakiman PBB itu lebih percaya pada argumentasi efectif occupation, yang disodorkan oleh Pemerintah Diraja Malaysia, sehingga sidang sengketa itu kini menemuni jalan buntu. Apalagi dalam menghadapi berbagai konflik kawasan seperti konfilk Uighur dan Rohingnya, praktis Indonesia tidak bisa berbuat apa- apa. Karena selain lemahnya diplomasi, kekuatan militer kita juga tak lagi disegani di kawasan ini.

Ngeyelnya, sikap Malaysia atau beberapa negara lain yang melakukan manuver  jail seperti beberapa pesawat, dan kapal perang Malaysia yang memasuki teritori Indonesia, pesawat Prancis, pesawat tempur Amerika di atas Pulau Bawean jelas untuk mengetes kesigapan militer Indonesia. Hal itu juga tidak terlepas dari anggapan jika Indonesia adalah negara ‘jomblo’ alias tidak punya sekutu yang terikat dalam perjanjian militer/pertahanan dengan Indonesia. Sementara Malaysia dan Australia telah terikat perjanjian pertahanan dengan beberapa negara bekas koloni Inggris. Secara historis, bahkan Inggris pernah membela mati-matian Malaysia ketika terlibat konflik dengan Indonesia.

Apalagi bila kita meminjam hipotesa dari Alan Collins, seorang pengajar ilmu politik dari University of Wales, diakui atau tidak jika pasca perang dingin antara Blok Amerika dan Blok Soviet berakhir, justru muncul fenomena the new post cold war era, yang ditandai dengan modernisasi Alusita di kawasan ASEAN, seperti misalnya pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia oleh militer Indonesia.

Begitu juga sebaliknya, beberapa negara lain di kawasan ASEAN juga telah melakukan hal yang serupa. Berbagai fakta empiris itulah, yang menimbulkan pertanyaan apakah sikap pemerintah Indonesia untuk ‘ngejomblo’ sebagai konsekuensi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif masih layak untuk dipertahankan. Kerjasama yang dilakukan mayoritas hannya kerjasama ekonomi baik secara bilateral maupun multilateral yang sering memiliki conditionaly (persyaratan) dan konsesi-konsesi tertentu, misalnya tidak boleh melakukan intervensi seperti dalam kasus Rohingnya dan Uighur.

Politik luar negeri bebas dan aktiv itu hanya cocok dilakukan bila kita memiliki pemimpin yang kuat dan visioner seperti Soekarno, sehingga bisa melakukan manuver dengan berbagai retorikanya. Seperti ketika Soekarno bermanuver dengan Presiden Amerika, John F Kennedy untuk meraih simpati dari Presiden Rusia Kruschev, hanya untuk meraih dukungan dalam membebaskan Papua Barat dari tangan Belanda.

Sebaliknya politik luar negeri bebas aktiv tanpa didukung oleh kepemimpinan yang kuat, hanya membuat Indonesia dipandang sebelah mata dalam percaturan dunia. Bahkan Indonesia cenderung hanya menjadi korban permainan, seperti yang dirasakan saat ini yang terkesan hanya menjadi korban permainan antara kepentingan Amerika dan China.***
Opini Masih Relevankah Politik Luar Negeri Bebas Dan Aktif