Menakar UU Ciptaker Bab X dan PP Nomor 74 Tahun 2020 Tentang LPI Adalah "Produk Hukum Kebut Kebutan"
Oleh : Dr Azmi Syahputra SH.MH
Tulisan ini adalah catatan kecil atas keresahan akademik saya, sebagai bentuk perhatian terhadap kehadiran sebuah Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang dibentuk diakhir tahun 2020. Mengingat skalanya yang sangat besar, dana yang dikelola, atau aset negara dan maupun aset pihak lain yang dikelola dalam jumlah besar. Namun lembaga ini tampaknya belum banyak jadi perhatian untuk ditelaah atau dipahami kehadirannya, urgensinya dimana, fungsinya apa, manfaatnya apa, tugasnya, oleh masyarakat pada umumnya. Sedangkan proses pembentukan UU dan PP nya, dibuat dengan sangat cara ala "Rapid test" cepat alias "kebut kebutan" Sehingga perlu kajian holistik, perlu mengingatkan pemangku kepentingan dan dibutuhkan pula masukan yang partisipatif dari seluruh elemen guna tercapainya tujuan yang hendak diraih dengan optimal .
Pasca ditandatangani oleh Presiden Jokowi Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, maka tanggal 14 Desember 2020 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 Tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI) pun telah pula ditetapkan dan diundangkan dalam lembaran negara tahun 2020 nomor 286, dalam rentang 40 hari an, telah selesai PP dimaksud, artinya antara Undang undang Cipta kerja ( UU CK) yang dibuat dan PP nya, bisa dikatakan dibuat oleh penyusun secara bersamaan dan pembuatan regulasi ini berasa "regulasi kebut -kebutan".
Ada beberapa catatan yang menjadi keresahan akademik dalam Peraturan Pemerintah ini, karena mengacu pada Bab X UU CK yang berjudul "investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional". Ada 9 PP yang dipersyaratkan namun dalam konsideran PP 74 tahun 2020 ini hanya memuat 6 PP dari perintah UU Cipta kerja di Bab X UU CK tersebut, antara lain menindaklanjuti perintah Pasal 157 ayat 8, 158 ayat (7), Pasal 159 ayat (6), Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (10), dan Pasal 171 ayat (3), yang tidak dicantumkan adalah menindaklanjuti perintah Pasal 158 ayat (2) tentang perubahan pengurangan penambahhan modal , Pasal 170 ayat (4) tentang penyertaan modal awal dan Pasal 173 ayat (5) tentang pengadaan tanah dan perizinan berusaha bagi proyek strategis nasional. Padahal 3 perintah PP yang dimaksud dalam Bab X UU CK tersebut sangat relevan dan urgent untuk dibuat peraturan lebih lanjut guna syarat teroperasionalnya UU CK kalaupun mau digeser tersendiri oleh PP LPI ini, bisa jadi hanya terkait pasal 173 ayat 5 UU CK.
Setelah disisir maka berdasarkan PP ini diketahui kini Modal LPI sebesar Rp 75 triliun (Pasal 3 ayat 3 PP LPI) yang awalnya di UU CK besaran ini tidak disebutkan, pada UU CK hanya memuat diberikan modal awal ditetapkan paling sedikit Rp 15 triliyun, dan dalam PP ini telah ditetapkan modal LPI menjadi Rp 75 triliun dan guna pemenuhan modal LPI sebesar Rp 75 triliun tersebut harus terpenuhi dalam rentang waktu di tahun 2021, jadi perlu suntikan dana Rp 60 triliun lagi buat LPI. Sehingga Terkesan aturan hukum berupa kelengkapan PP menjadi urusan belakangan, yang diprioritaskan eksekusi adalah bunyi anggarannya dari Rp 15 triliun menjadi dimodali sampai Rp 75 triliun.
Point selanjutnya yang menjadi keresahan akademik dan perlu menjadi perhatian terkait Bab 7 pasal 51 ayat (6) PP , kalau modal LPI dalam pengoperasionalnya turun sehingga 50% dari modal awal pemerintah menambahkan modal untuk LPI, namun kalau untuk pembagian laba untuk pemerintah LPI membuat ketentuan dan syarat (pasal 50 ayat 6 PP) untuk pembagian maksimal 30 % dengan pemerintah bila akumulasi laba LPI ditahan telah melebihi 50% dari modal LPI dan itupun hanya dibagi pada pemerintah sebahagian dari labanya LPI.
Dalam pengoperasionalan LPI kedepan kemudian akan ada pembangunan dengan berbagai macamnya, misal gedung atau pengadaan inventaris sarana pendukungnya proyek strategis, akan dilakukan melalui sistem apa ini? Apakah berdasarkan Perpres, penunjukkan langsung atau lelang mengikuti LKPP kah , ini juga tampaknya belum dipertimbangkan secara matang dan tidak diatur secara jelas dalam PP ini, yang diatur hanya pengambil keputusan operasional LPI melalui rapat dewan direktur, apakah ini berarti semua mekanismenya pengoperasionalnya cukup melalui rapat dewan direktur. (Pasal 30 Jo Pasal 33 PP).ini juga perlu sangat hati- hati dan cermat, agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar pengusaha.
Dalam pasal 2 PP LPU merupakan badan hukum yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah dan bertanggungjawab dengan Presiden namun terhadap aset LPI merupakan milik dan tanggung jawab LPI, (Pasal 2 PP dan Pasal 37 ayat 2 PP) ini dikhawatirkan bias dan bermakna Contradictio in conceptio bukannya dalam kepemilikan usaha itu yang penting aset, kok dalam aturan ini lembaga nya punya pemerintah namun aset punya LPI, apa ini tidak jadi masalah kedepannya, secara pemerintah memberikan ruang modal dan aset setara Rp 75 triliun plus kemudahan kemudahan lainnya pada LPI. Jadi ini juga perlu penjelasan pada publik.
Dalam UU CK LPI dinyatakan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukum atas kerugian investasi termasuk tidak berlakunya UU keuangan negara, UU kekayaan negara dan UU BUMN (pasal 164 ayat2 UU CK) namun dalam PP ini diatur bila ada tuntutan pidana gugatan perdata maka dalam PP ini telah mengcover perlindungan bantuan hukum bagi organ LPI termasuk bagi mantan anggota dewan direktur termasuk pula mantan pegawai LPI bila ada tuntutan pidana dan gugatan perdata (pasal.71).
Klausula ini arahnya kemana kok rasanya aturan PP ini tidak nyambung ssbagai aturan lebih lanjut jika dikaitkan dengan cantolannya dalam UU CK? Ada pasal yang mengatur keterbukaan informasi namun mengatur pula tentang kerahasiaan dimana organ LPI dan pegawai wajib merahasiakan dokumen data dan informasi dalam pelaksanaan tugasnya .(Pasal.68 dan Pasal 69) ini dapat pula membingungkan organ internal LPI.kalau ada pilihan begini pasti cendrung pilih yang aman dengan cara "merahasiakan".
Yang tak kalah pentingnya lagi terkait pasal 43 PP , LPI menyimpan dan mengelola rekaman data untuk setiap investasi, maka internet protokol dan aset artifisial ini semestinya harus dikelola negara, namun untuk IP dan domainnya punya siapa? Dan dari sini diketahui siapa yang mengendalikan pengelolaan rekaman data tersebut? IT property dan portal infrastruktur dipegang negara mana? Jangan jangan fungsi LPI disini hanya terbatas jadi pencatat. Bagaimana perlindungan rekaman data ini?
Semoga catatan kecil ini ada manfaatnya dan dapat menjadi perhatian serius, karenanya harus teliti dan hati-hati, tidak boleh sesuka hati, dan biarkan ada ruang dialektika ilmiah yang terbuka sebagai koreksi, masukan bagi pemerintah khususnya LPI, guna tercapainya tujuannya nasional yang mencapai ekonomi nasional yang kuat dan terwujudnya visi Indonesia 2045.
Maka semua pihak harus benar- benar meletakkan landasan hukum yang kuat, semangat kejujuran dan harus sinkron dengan sistem perekonomian nasional sebagaimana maksud UUD 1945 serta kedaulatan ekonomi dan berbasis dalam mengamankan keuangan negara demi keadilan sosial. • *Penulis adalah Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (ALPHA).