a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Mendung Tebal Selimuti Ekonomi Nasional

Mendung Tebal Selimuti Ekonomi Nasional
ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Memasuki era globalisasi serta tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka menjalankan ekonomi terbuka/ekonomi pasar adalah sebuah keniscayaan. Karena itu bagian dari etika pergaulan internasional. Bila kita membuka diri terhadap produk-produk dari berbagai negara, niscaya pasar mereka juga bisa terbuka untuk produk-produk kita. Kompetisi pasar itu    sangat tergantung dari kelebihan komparatif maupun kelebihan kompetitif masing-masing produk.

Tetapi pasca pemberian pinjaman IMF sebesar US $ 49 miliar untuk menangani krisis moneter 1997 lalu yang ditanda tangani Presiden Soeharto dan Michael Camdesus,  Indonesia telah terjerumus dalam sistem perekonomian yang sangat liberal. Maklum dalam memberikan pinjaman, renternir internasional itu meminta sejumlah persyaratan (conditionally). Diantaranya liberalisasi pasar berbagai komoditas sekaligus mengamputasi fungsi dan tugas Bulog sebagai  buffer stock serta stabilisator harga.       

Sejak saat itulah kran impor berbagai komoditas, seperti beras, gula, jagung, kedelai, garam, daging hingga paha ayam terbuka sangat lebar. Idealnya setiap kebijakan importasi didasari oleh konsideran tentang skala kebutuhan, tingkat ketersediaan dalam negeri  serta strategi pembangunan ekonomi nasional. Sehingga keperluan antara pemenuhan kebutuhan dan kepentingan para petani dan peternak bisa diatur secara proporsional.  

Tetapi faktanya, cenderung dilepaskan ke mekanisme pasar. Dampaknya, kita selalu berhadapan dengan bahaya laten dan penyakit kambuhan setiap tahun yakni saat menghadapi hari-hari besar seperti ramadhan, lebaran, natal dan tahun baru  para emak-emak  selalu dipusingkan dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Di sisi lain para petani dan peternak tidak ikut menikmati kenaikan harga berbagai komoditas itu.

Fenomena itu tidak bisa dilihat semata-mata menggunakan kacamata hukum pasar antara suplay dan demand. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya spekulasi para tengkulak serta permainan para kartel yang mempermainkan harga berbagai komoditas. Ironisnya, hingga saat ini belum ada regulasi serta instrumen yang memadai untuk melindungi konsumen serta para petani dan peternak.

Yang terjadi justru sebaliknya, Surat Rekomendasi Impor (SRI) justru terkesan diobral dengan argumentasi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tanpa memperhitungkan dampaknya  yang bisa menghancurkan para petani dan peternak lokal. Tragisnya, sektor-sektor  strategis itu justru dikuasai oleh orang-orang partai. Sehingga menimbulkan kesan jika hingga saat ini pemerintah tak berdaya menghadapi ‘hubungan gelap’ itu. Padahal bila kondisi itu dibiarkan, tanpa sadar kita telah menggali kubur untuk memakamkan  identitas bangsa ini sebagai bangsa agraris.

Kesalahan tata kelola ekonomi itu telah mengkhianati khitah tujuan ekonomi seperti tesis ekonomi klasik, Adam Smith maupun John Meynard Keynes yang menyatakan jika tujuan ekonomi adalah untuk mensejahterkan rakyat sekaligus memberikan lapangan kerja. Karena faktanya liberalisasi itu justru mendesain bangsa ini hanya sebagai bangsa konsumen belaka. Rendahnya harga komoditas pertanian membuat banyak petani dan nelayan alih profesi menjadi buruh semata hingga menjadi TKI.

Sementara seperti hubungan antara ibu dan anak, liberalisme itu telah melahirkan kapitalisme. Melihat peluang menggiurkan itu, para pemilik modal itu lebih suka menjadi tengkulak  sekaligus kartel yang bisa mengendalikan harga untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya daripada membina para petani dan peternak lokal. Tak jarang mereka membina perselingkuhan dengan para birokrasi untuk memuluskan cara itu. Contohnya, kasus  izin impor daging yang menyeret mantan Ketua MK.

Fenomena inilah yang menjadi salah satu indikator dari tesis  beberapa ekonom terkenal seperti Paul Andrew Ormerod, Umar Ibrahim Vadillo   serta Critovan Buarque tentang kegagalan kapitalisme. Dalam bukunya, The Death of Economics , Paul Ormerod maupun The End Of Economics, Umar Vadillo secara eksplisit menyatakan jika kapitalisme telah menciptakan ketidakadilan ekonomi.

Kapitalisme bukan hanya menggilas unit-unit usaha kecil yang ada dalam masyarakat. Tetapi lebih dari itu kapitalisme  juga telah mencabut identitas bangsa ini. Sebagai catatan, meski pemerintah sering mengklaim jika kita akan swasembada pangan, tetapi secara empiris kita tercatat sebagai konsumen beras terbesar di dunia. Maka tak mengherankan bila Soekarno telah melakukan ‘eksperimen tabu’ dengan manyatukan nasionalisme, agama serta komunis (Nasakom) untuk melawan liberalisme dan kapitalisme.***
Opini Mendung Tebal Selimuti Ekonomi Nasional