Ada fenomena politik yang sangat menggelisahkan, di republik ini yakni politik tumpas kelor. Fatsoen politik yang mengubur eksistensi lawan yang kalah dalam kompetisi politik (losers). Dalam Kitab Negara Kertagama fatsoen ini sebenarnya untuk menggambarkan kisah Mahapatih Jaya Negara dari Kerajaan Majapahit yang menghabisi Patih Nambi beserta pengikutnya hanya berdasarkan fitnah. Kini tumpas kelor, itu bisa diinteprestasikan sebagai sikap politik untuk mengikis habis semua simpatisan partai yang kalah termasuk membabat habis semua warisan kebijakan.
Fenomena ini pernah juga terjadi di Amerika pada dekade 80-an. Sehingga seorang profesor ekonomi dari Massachusetts, Lester C Thurow menulis dalam bukunya The Zero Sum Society Distribution And The Posibilities for Economic Change, yang mendeskripsikan jika fatsoen politik seperti itu zero zum game/tumpas kelor cenderung menciptakan instabilitas serta incontinuitas (ketidak sinambungan) kebijakan. Sehingga menimbulkan kesan setiap kebijakan bersifat flip flop (berubah-ubah) dan tambal sulam (ad hoc). Dengan pola kebijakan yang selalu berubah itulah setiap kebijakan tidak pernah memberikan hasil yang optimal.
Sejak republik ini dinyatakan merdeka pada tahun 1945 tenyata politik tumpas kelor itu belum juga hilang. Ketika negara ini menganut system parlementer (1945-1959) setidaknya kita berganti puluhan kali parlemen. Setiap pergantian parlemen senantiasa diikuti dengan pergantian kebijakan dan orientasi. Bahkan ada parlemen yang usianya hanya berkisar 2 bulan. Setelah dekrit presiden 1959, baru umur pemerintahan relatif lebih panjang meski tetap terjadi pergumulan ideology yang sangat keras. Pasca terjadi pemberontakan G 30 S PKI, politik tumpas kelor justru terjadi sangat mengerikan.
Stabilitas politik relatif permanen terjadi pada era Orde Baru, meski itu bersifat semu karena tidak berfungsinya beberapa lembaga negara seperti DPR/MPR yang hanya menjustifikasi semua kebijakan pemerintah dan mengabaikan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga pengawas terhadap semua kebijakan pemerintah. Namun pemerintahan Orde Baru memiliki blue print (cetak biru) yang jelas tentang arah kebijakan berupa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Baik dalam jangka pendek, menengah, panjang, seperti adanya Repelita. Siapapun menteri yang diangkat saat itu telah memiliki acuan kebijakan yang jelas. Mungkin hasilnya akan semakin optimal bila DPR saat itu bisa menjalankan fungsi pengawasan yang baik,
Namun bangsa ini seakan tidak bisa lepas dari kutukan tumpas kelor, setelah Soeharto tumbang dan lengser karena gerakan mahasiswa, politik tumpas kelor berlaku secara massif baik terhadap eksistensi para loyalis Soeharto maupun semua kebijakan produk Orde Baru. Semua warisan kebijakan itu dianggap ‘haram’ dan harus diganti secara total. Bahkan energi kemarahan itu dituangkan dalam bentuk keinginan untuk amandemen terhadap UUD 1945. Ironisnya, amandemen itu cenderung kebablasan dan memunculkan kompleksitas persoalan, terutama terhadap system ketata negaraan. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terpikirkan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
Namun kini secara ‘malu-malu kucing’ kita mengakui jika banyak kebijakan Orde Baru yang masih layak dan releven untuk diteruskan. Malah kini berkembang wacana jika rindu dengan masa lalu melalui keinginan untuk merevitalisasi GBHN. Sebagai grand design pembangunan nasional, plus fungsi DPR yang sudah semakin baik. Maklum, sistem yang sekarang ini dinilai masih belum representative.
Memang secara filosofis pemerintahan sekarang telah memiliki Nawa Cita yang indah, tetapi petunjuk teknisnya yang kurang memadai. Sehingga terkesan setiap menteri jalan dengan caranya masing-masing. Bahkan tidak jarang terjadi ‘benturan’ kepentingan antara masing-masing departemen. ‘Pertikaian’ itu menjadi tontonan yang kurang elok bagi masyarakat. Karena mencerminkan minimnya koordinasi dan komunikasi antara lembaga negara itu.
Banyaknya menteri yang berasal dari kalangan generasi muda memang menjadi darah segar sekaligus bisa melahirkan gagasan-gagasan baru. Tetapi bila gagasan itu keluar dari blue print justru akan menimbulkan persepsi jika gagasan atau kebijakan itu hanya berbasis proyek, bukan berbasis gagasan untuk kesinambungan pembangunan. Apalagi setiap gagasan/proyeksi itu harus didukung oleh alokasi anggaran yang tidak sedikit misalnya gagasan tentang perubahan kurikulum di Departtemen Pendidikan Nasional.
Paparan diatas itu akan menjelaskan kenapa pembangunan kita kalah jauh tertinggal dari, Malaysia, Singapura, Korea dan India yang memiliki usia kemerdekaan yang tidak jauh dari Indonesia. Maka diperlukan kesinambungan kebijakan dengan menghapus politik tumpas kelor. Dan itu memerlukan sikap yang negarawan.***