Munculnya kasus Asuransi Jiwasraya serta Asabari yang merugikan nasabah hingga triliunan rupiah menunjukan jika tata kelola BUMN kita masih sangat buruk dan amburadul. Dan pelanggaran terhadap aspek prudent (kehati-hatian) itu juga bisa menimpa sekitar 115 BUMN lainnya yang terbagi dalam 14 sektor. Maka bila penanganan kasus itu tidak cermat dan tuntas hanya akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan supremasi hukum. Sekaligus akan memperlihatkan jika hukum belum memberikan manfaat karena tidak bisa menghadirkan efek jera (detterent effeck) seperti tesis Jeremy Bentham.
Berdasarkan hipotesa saya, ada beberapa pelanggaran yang telah dilakukan oleh jajaran direksi kedua perusahaan tersebut serta langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mewujudkan cleans & good governance (pemerintahan yang bersih dan baik). Pertama managemen kedua BUMN itu telah jelas-jelas melanggar asas kehati-hatian (prudential) dalam proses pemberian pinjaman kepada pihak ketiga dalam hal ini para pengusaha yang notabene memiliki kredibilitas yang diragukan. Apalagi pinjaman yang diberikan itu merupakan uang yang berasal dari iuran premi nasabah yang mencapai ribuan nasabah dengan dana mencapai puluhan triliun.
Karena perusahaan asuransi ini berasal dari entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka para direksi kedua BUMN itu telah jelas-jelas melanggar Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Karena mereka berasal dari BUMN bisa dijerat dengan menggunakan UU lex specialist sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 63 KUHP, sehingga dalam hal ini para direksi yang memberikan persetujuan kredit itu bisa dijerat dengan menggunakan pasal tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan yang dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, yang menyatakan “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau… .
Karena para direksi itu mengabaikan prinsip kehati-hatian, hal itu terbukti bahwa kredit dari para pengusaha itu telah terbukti macet (non performance loan/NPL), sehingga kedua BUMN itu harus menderita kerugian triliunan rupiah. Sementara mereka memiliki kewajiban untuk membayar klaim para nasabah. Maka salah satu lamhkah prioritas dalam mengembalikan uang nasabah secepatnya, karena selain untuk menghadirkan kepastian hukum juga untuk menjaga trust (kepercayaan) baik nasabah maupun para investor terhadap perusahaan asuransi serta BUMN sehingga tidak tercipta contagion effeck (efek karambol) yang merugikan.
Selain menjerat meraka dengan pasal korupsi, karena hal itu terkait dengan dana nasabah, para direksi bisa dijerat dengan menggunakan Pasal Penipuan serta Pengggelapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 378 Jo 372 KUHP. Karena dana yang dipinjamkan itu adalah dana nasabah, maka penggunaan pasal penggelapan itu menjadi sangat relevan. Sementara penerapan Pasal 378 atau pasal penipuan itu berdasarkan argumentasi jika pihak managemen telah menawarkan sejumlah iming-iming ketika merayu nasabah untuk menyimpan uangnya di kedua perusahaan tersebut.
Pihak yang turut bertanggung jawab dalam kasus tersebut seharusnya tidak berhenti pada level direksi saja, tetapi juga para agen yang notabene berasal dari 7 bank nasional. Mereka juga harus dijerat dengan menggunakan pasal penipuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP, karena merekalah yang telah merekomendasikan kepada para nasabah untuk menyimpan uangnya di kedua perusahaan asuransi itu. Apalagi rekomendasi itu diberikan berdasar asumsi jika penyimpanan uang itu bebas dari pajak, sehingga ada upaya untuk menghindari pajak sebagai bentuk perbuatan pidana sesuai dengan ketentuan UU KUP tahun 2007.
Penyelesaian secara tuntas kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi siapapun untuk berhati-hati dalam mempergunakan kewenangannya. Sekaligus bisa memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat. Sehingga tidak akan terulang persoalan yang sama dikemudian hari.***