Dalam sejarah pergerakan kebangsaan di Indonesia, organisasi keagamaan yang memiliki rekam jejak yang panjang diantaranya adalah Muhammadiyah dan NU. Sejak didirikan di Kampung Kauman, Yogyakarta, 18 November 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330 H, oleh Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan KH Ahmad Dahlan, Persyarikatan Muhammadiyah menjelma menjadi lembaga dakwah dan tajdid yang lebih menitikan perjuangan melawan kolonialisme melalui tarbiyah (pendidikan) umat. Apalagi pemerintahan kolonial telah bertindak diskriminatif dengan membuat dikotomi antara masyarakat priyayi dan abangan yang sejatinya untuk membatasi pendidikan masyarakat, yang bisa berujung pada perlawanan secara revolusi untuk melawan kolonialisme.
Tetapi secara cerdik Hoofd Bestur (Pengurus Pusat) Persyarikatan Muhammadiyah yang diketuai oleh Mas Ketib Amin Hadji Ahmad Dahlan, melakukan gerilya pendidikan agar tidak terpantau oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara perlahan dan pasti, ijtihad dan perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah telah membuahkan hasil dengan melahirkan beberapa tokoh besar di Indonesia. Bahkan menjelang wafatnya, Soekarno sempat mengaku dan bangga menjadi warga Muhammadiyah. Fakta empiris itulah yang menjadi bukti sahih jika Muhammadiyah memiliki kontribusi yang besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia sekaligus perkembangan peradaban Bangsa Nusantara ini.
Secara kelembagaan, Muhammadiyah sempat mengalami transformasi meski pada akhirnya kembali ke khitah sebagai organisasi sosial dan keagamaan, yang salah fokus perjuangnnya adalah memajukan sektor pendidikan. Maka tak mengherankan bila Muhammadiyah kini menjelma menjadi organisasi keagamaan yang besar dan modern. Bahkan Ormas berlambang matahari yang memancarkan 12 sinar putih ke segala penjuru ini memiliki jaringan yang tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Keberhasilan Muhammadiyah ini menjadi berkah tersendiri bagi para kadernya, karena adanya pakem tak tertulis bagi siapapun yang menjadi presiden, maka jatah Menteri Pendidikan yang selalu jatuh ke tangan kader Muhammadiyah, seperti halnya pakem tak tertulis jika Menteri Agama yang selalu menjadi jatah kader NU. Namun justru di saat ini Kementerian Pendidikan itu jatuh ke tangan professional. Bahkan kini jatuh ke tangan kaum milenial, yang dipertanyakan oleh banyak pihak. Mengingat pos yang kini ditempati oleh Nadiem Makarim ini adalah sektor yang sangat strategis, dalam menyiapkan human resource yang handal sekaligus sebagai sarana untuk membentuk nation character building bagi generasi muda.
Ironisnya, disaat warga Muhammadiyah akan merayakan Milad yang ke 111, Muhammadiyah secara mengejutkan "tersingkir" dalam proses penentuan Program Organisasi Penggerak (POP). Muhammadiyah bersama dengan NU dan PGRI menyatakan mundur dari kontestasi itu setelah melihat prosesnya dinilai tidak memiliki transparansi dan akuntabilitas. Meski Muhammadiyah bersama NU dan PGRI dapat dipastikan akan memperoleh program klasifikasi Gajah dengan nilai anggaran sekitar Rp 595 M. Mundurnya, Muhammadiyah dan NU yang telah telah memiliki track reccord yang panjang dalam kontestasi tersebut, karena masuknya beberapa perusahaan swasta seperti Putra Sampurna serta Tanoto Foundation yang mengindikasikan adannya desain liberalisasi pendidikan.
Sebagai catatan, nuansa liberalisme kapitalistik dalam dunia pendidikan kita saat ini menguat. Misalnya sistem belajar dalam jaringan (Daring) online yang dilakukan oleh beberapa vendor. Meski itu berdalih untuk menyiasati kondisi pandemic Covid 19, tetapi faktanya sistem itu berbayar dan tidak semua anak bisa mengikuti sistem belajar online karena tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tetapi masyarakat dikondisikan untuk tetap memilih, sehingga menimbulkan pertanyaan besar dimana tanggung jawab negara untuk memberikan sarana pendidikan yang layak bagi masyarakat seperti halnya yang tersurat dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Padahal Kementerian Pendidikan telah mendapat alokasi anggaran yang sangat besar, meski belum sesuai dengan ketentuan UU yang mengalokasikan anggaran sekitar 20% dari APBN.
Polemik Program Organisasi Penggerak (POP) ini semakin menyematkan bahaya laten di Kemendikbud, jika Kementerian tersebut memiliki penyakit kambuhan berupa pergantian kebijakan, pergantian kurikulum setiap pergantian menteri. Tragisnya, banyak program yang muncul itu berbasis ‘proyek’ ketimbang berbasis keinginan untuk menyusun kurikulum yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sekaligus memperilhatkan inkonsistensi kebijakan yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi bingung.
Maka menyikapi mundurnya, Muhammadiyah, NU dan PGRI tersebut sudah saatnya Presiden Jokowi turun tangan. Agar kegaduhan itu tidak berkepanjangan yang pada gilirannya akan menciptakan proses delegitimasi bagi Jokowi sendiri. Karena bila isu itu dibiarkan akan menguatkan framing, jika Jokowi dikelilingi oleh korporasi yang ingin memanfaatkan situasi untuk mengeduk keuntungan semata seperti halnya dalam proyek kartu pra kerja. Serta framing jika selama ini ada jarak antara Jokowi dengan Ormas-Ormas keagamaan.***