Jakarta, Pro Legal News - Pra dan pasca pembubaran Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah, dikotomi antara konsep ketatanegaraan sekuler dan khilafah seketika menguat secara tajam. Bahkan menjelang Pemilu 2019 yang tinggal dalam hitungan hari, isu khilafah menjadi komoditas politik yang digoreng untuk mendiskreditkan kubu tertentu. Maka telaah tentang probabilitas penerapan konsep khilafah menjadi penting sebagai bahan pencerahan, agar masyarakat tidak menjadi korban propaganda politik. Sehingga tidak terjebak dalam pertengkaran yang menguras energi.
Dalam Al Qur’an, Surat Al Baqoroh (2) ayat (208) telah termakthub perintah bagi kaum Muslim untuk masuk agama Islam secara kaffah (menyeluruh). Bila menyangkut tentang ubudiyah (hubungan antara manusia dengan Tuhan/peribadatan), dictum itu mutlak bagi siapapun yang telah memenuhi syarat (mukkalaf). Tetapi menyangkut muamallah (ketentuan yang mengatur hubungan antara sesama manusia), inilah yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Apalagi hukum Islam di Indonesia bersifat sebagai hukum negatif. Meski negara Indonesia berdasarkan agama tetapi Indonesia bukan negara agama.
Seperti diketahui bahwa konsep khilafah (al ahkam as sulthoniyah) merupakan salah satu kaidah dalam hukum Islam yang mengatur tentang muamallah. Tetapi upaya untuk mengintegrasikan system itu dalam system ketata-negaraan di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Sistem yang sekarang dijalankan, merupakan hasil ijtihad politik dari para founding fathers kita. Dengan memperhatikan pola relasi antar agama yang ada di Indonesia.
Bahkan dikalangan internal Islam, gagasan menyatukan dalam satu konsep ketata negaraan melalui Pan Islamisme yang digagas oleh Jamaludin Al Afghani pada awal abad ke 19 yang ditulis dalam al amal, al Kamilah juga terbukti gagal. Sehingga obsesi sebagian orang untuk menegakan kekhalifahan juga patut untuk dipertanyakan.
Setidaknya ada beberapa faktor yang mengakibatkan konsep itu sulit untuk diterapkan di Indonesia. Selain karena secara sosiologis, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara di dunia. Indonesia memiliki setidaknya 5 agama besar, dengan kultur masyarakat yang berbeda-beda, memiliki sekitar 700 suku yang tersebar di sekitar 13.000 pulau. Faktor determinan yang mengakibatkan konsep itu sulit terwujud adalah polarisasi faham bagi umat Muslim di Indonesia, yang tidak semua setuju dengan penerapan konsep khilafah.
Seperti diketahui bahwa, ada dua skenario yang mungkin bisa dilakukan untuk merubah konsep negara sekuler menjadi negara berdasarkan khilafah. Yang pertama adalah perubahan undang-undang atau melalui amandemen serta revolusi seperti yang terjadi di Iran. Sekarang kita tinggal hitung kostelasi politik yang ada di Indonesia. Dalam Pileg 2014 lalu, lima partai berbasis Islam memperoleh suara sekitar 31,2% dengan rincian, PKB (8,9%), PKS (6,9%), PAN (7,7%), PPP (6,3%), PBB (1,4%).
Bila kita menggunakan asumsi semua partai Islam itu menginginkan perubahan konsep dari negara sekuler ke khilafah, maka secara kumulatif kekuatan itu juga tidak bisa mengusung semangat perubahan karena akan berhadapan dengan 69% suara yang tetap menginginkan konsep negara sekuler.Padahal faktanya, tidak semua parati Islam menghendaki penerapan khilafah, seperti PKB dan PPP yang terang-terangan menolak penerapan khilafah.
Skenario yang kedua adalah melalui revolusi fisik. Bila menggunakan skenario revolusi fisik, mustahil akan terjadi bila tidak melibatkan militer di dalamnya. Persoalannya kondisi TNI saat ini relative solid dan tidak terfragmentasi seperti adanya TNI hijau dan TNI merah seperti pada era masa lalu. Dan TNI dengan doktrin Kartika Eka Paksi, pasti akan mempertahankan secara mati-matian eksistensi Negara Keastuan Republik Indonesia (NKRI).
Hipotesa ini bisa menjadi gambaran, bahwa khilafah itu sulit diwujudkan meski tidak mustahil. Tetapi setidaknya masyarakat tidak perlu takut secara berlebihan, sehingga berkembang sikap saling mencurigai. ***