a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Nasib Buruh Yang Kian Merana Disaat Bencana

Nasib Buruh Yang Kian Merana Disaat Bencana
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Sebagai negara yang sedang menjalani proses mimikri (ganti kulit) atau transisi dari negara agraris menjadi negara industri, investasi adalah katalisator yang bisa mewujudkan keinginan perubahan itu. Sebagai salah satu upaya untuk mengejawantahkan upaya pemerataan kesempatan kerja seperti yang tertuang dalam Pasal 4 huruf  (b) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan. Apalagi jumlah angakatan kerja kita yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS tahun 2018, untuk wilayah  Provinsi DKI Jakarta  saja, selama periode Agustus 2017 – Agustus 2018, jumlah angkatan kerja tercatat 5,04 juta orang, bertambah sebanyak 186 ribu orang dibandingkan dengan keadaan Agustus 2017 yang sebanyak 4,86 juta orang.

Maka konsideran untuk menarik investasi sebanyak mungkin agar bisa mencapai tujuan untuk memberi lapangan kerja sebagai bagian dari amanah Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk memperoleh pekerjaan layak, yang dilakukan oleh pemerintah sangat bisa dipahami. Tetapi menempatkan paradigma upah buruh yang murah sebagai kelebihan komparatif dan menjadi daya tarik utama selain sumber daya alam yang melimpah serta segmen pasar yang besar dengan daya beli baik adalah kebijakan yang layak untuk dipertanyakan. Bahkan hal itu sangat bertentangan dengan tujuan diterbitkannya UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri, terutama tujuan  dalam Pasal 4 huruf (a) untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Serta Pasal 4 huruf (d) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Rendahnya Upah Minimum Regional (UMR)  bagi kalangan buruh menjadi dilema tersendiri, di satu sisi para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, karena hanya itu yang bisa dihadirkan oleh negara. Tetapi disisi lain, upah yang mereka peroleh  sangat minim bila dikonversikan dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Maka keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan kualitas hidup tenaga kerja bersama keluarganya itu ibarat masih jauh panggang dari api. Sementara negara cenderung berpihak kepada pengusaha, serta lebih asyik untuk mengejar aspek pertumbuhan ekonomi secara makro sebagai indikator prestasi yang mudah terlihat ketimbang memenuhi aspek pemerataan.

Indikator keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha itulah yang menjadi dasar keberatan kalangan buruh terhadap draft RUU Cipta Lapangan Kerja yang lebih dikenal dengan omnibus law. Meski pada akhirnya proses pembahasan itu ditunda oleh pemerintah. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat masa depan buruh semakin buram dan merana apabila RUU itu ditetapkan diantaranya adalah semangat penerbitan UU Cipta Lapangan Kerja yang lebih menekankan aspek mendatangkan investasi ketimbang perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh.

Dalam, Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta kabupaten/kota.  Tapi penerapan pasal itu tidak dibutuhkan oleh buruh  secara umum kecuali di DKI Jakarta, Yogyakarta. Selanjutnya, nilai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif.

Sebelumnya aturan mengenai pesangon ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bahkan, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.  Dalam omnibus law  sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Serta beberapa pasal lain yang dinilai telah mengamputasi hak-hak buruh.

Ketika bencana Corona melanda, perhatian pemerintah terhadap nasib kaum buruh juga pantas untuk dipertanyakan. Meski bukan satunya-satunya kelas, karena bencana ini telah menyasar semua strata kelas, tetapi mereka merupakan kelas yang layak untuk mendapat perhatian khusus. Ketika pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagian industri terutama di sekitar daerah yang menerapkan PSBB seperti Jabodetabek, kalangan industri melakukan lock out, penutupan sementara untuk mendukung program pemerintah itu.

Pertanyaannya, bagaimana nasib para buruh itu yang notabene tidak memperoleh upah selama lock out (libur). Apalagi bagi mereka yang tidak tersentuh oleh program reguler pemerintah seperti social safety net (jaring pengaman social) melalui program BLT atau Program Keluarga Harapan (PKH). Padahal sesuai dengan ketentuan Pasal 8 huruf (h) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketanagakerjaan, perusahaan wajib memberikan jaminan sosial terhadap tenaga kerja dan keluarganya. Termasuk dalam Pasal 99 UU tersebut juga mengatur kewajiban perusahaan untuk memberikan kesejahteraan terhadap setiap pekerja dan keluarganya. Terus kemana peruntukan dana-dana asuransi tenaga kerja yang selama ini mereka bayar, apakah dana itu tidak bisa mereka klaim untuk menyambung hidup mereka ?. May day, teruslah berjuang..***
Opini Nasib Buruh Yang Kian Merana Disaat Bencana