a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Negara Bingung

Negara  Bingung
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ketika pandemi Corona memasuki fase awal, Bangsa Indonesia merasa yakin dengan berbagai pola makan dan kebiasaannya akan terhindar dari serangan Covid 19 itu. Tetapi keyakinan itu ternyata hanya seumur jagung, setelah ditemukan imported cases di Depok yang menimpa dua orang, antara ibu dan anak karena tertular oleh carrier (pembawa virus) WNA asal Jepang, kini berubah menjadi kebingungan dan kepanikan. Tingkat penyebaran virus ini juga terbilang ganas, hanya dalam hitungan hari kini sudah ada sekitar 309 orang yang terindikasi terpapar virus Corona.

Tragisnya tingkat mortalitas (prosentase kematian) karena wabah Corona di Indonesia terbilang sangat tinggi, bahkan disebut-sebut tertinggi di dunia karena mencapai 8,37 persen melebihi Italia yang mencapai 8,34 persen. Kondisi itulah yang secara psikologis menciptakan kepanikan lintas sector. Seperti munculnya contagion effect dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Saat artikel ini ditulis rupiah mengalami depresiasi yang cukup parah karena dolar melambung menjadi Rp 16.212. Kegiatan masyarakat karena adanya sejumlah pembatasan praktis terganggu.

Ironisnya, hingga saat ini protocol penanganan krisis yang dikeluarkan oleh pemerintah dinilai belum memberikan hasil maksimal sekaligus bisa meredam kepanikan masyarakat. Polemik yang berkembang hanya sebatas perlu tidaknya social distancing maupun lockdown yang belum tentu efektif untuk mencegah wabah itu semakin meluas. Proses perdebatan kedua langkah itu juga tidak terlepas mindset dan framming politik dari dua kelompok yang mungkin akan berhadap-hadapan dalam Pilpres 2024. Sehingga perdebatan itu tidak pernah melahirkan ouput yang genuine. Bahkan yang muncul hanya sikap saling nyinyir diantara kedua kelompok.

Yang tak kalah menyedihkan, adanya perbedaan pola (policy) sekaligus treatment antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menghadapi wabah Corona. Kondisi itu justru menciptakan kebingungan tersendiri di masyarakat, untuk memilih guiden (panduan) yang mana yang harus diikuti, terutama untuk masyarakat di Jabodetabek yang terdiri dari beberapa kluster serta Pemprov yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan. Padahal kunci utama untuk mencegah wabah ini semakin meluas adalah adanya kesamaan cara pandang sekaligus kesamaan sikap antara semua stakehoulder. Maka disinilah pentingnya komunikasi serta koordinasi antara semua elemen, sekalipun mereka berasal dari afiliasi politik yang berbeda.

Kebingungan negara ini dalam menyusun protokol penanganan krisis itu sebenarnya menjadi cerminan kebingungan hukum ketata negaraan yang kita anut. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi cita rasanya adalah negara federal setelah terbitnya UU No 23 tahun 2014 yang merupakan perubahan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah. Berbekal instrument itulah setiap kepala daerah, Gubernur/Bupati memiliki kewenangan (otoritas) untuk membuat kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhan dengan catatan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Desentralisasi kebijakan ini di satu sisi meringankan beban pemerintah pusat, karena daerah tidak terlalu tergantung dari pusat. Tetapi disisi lain menimbulkan kesan kepala daerah tidak bisa dikendalikan dan jalan sendiri-sendiri. Faktor inilah yang menimbulkan tudingan jika Gubernur DKI Anies Baswedan, nylonong sendiri serta curi panggung dalam penanganan wabah Corona. Sebaliknya, karena garis hirarki kebijakan yang terputus, Jokowi dituding lamban dan hanya plonga-plongo. Padahal kedua pemimpin itu telah berusaha sekuat mungkin untuk menanggulangi bencana, tetapi justru hujatan oleh orang-orang yang tidak paham birokrasi yang diperoleh.

Maka momentum terjadinya dua bencana besar, banjir dan Corona itu harus dijadikan bahan evaluasi tentang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam kondisi-kondisi darurat. Agar hambatan birokrasi justru tidak menjadi penghalang bagi upaya-upaya kemanusiaan. Kerja, kerja, dan kerja tanpa komunikasi dan koordinasi serta sosialisai hanya akan menimbulkan kekacauan serta salahnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Tanggalkan sektoral, dan kepentingan kelompok sebelum duduk bersama dengan orang-orang yang mungkin berbeda afiliasi politik untuk mencari solusi bersama demi kepentingan bangsa dan negara.

Para pemimpin itu juga harus punya keberanian untuk menegur para loyalis dan pendukungnya untuk tidak melakukan kekerasan verbal dengan menghujat kelompok/pemimpin lain. Sehingga tidak tercipta ketegangan baru, karena pemimpin yang negarawan itu bukan hanya mengayomi kelompoknya semata, tetapi juga merangkul kelompok-kelompok yang berbeda afiliasi politiknya.***
Opini Negara  Bingung