Filsuf, pengacara sekaligus penulis Romawi, Marcus Tullius Cicero pernah mengeluarkan permis yang sangat terkenal, salus populi supreme lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Permis itu saat ini menjadi relevan setelah munculnya wabah Coronavirus Disease (Covid 19) yang telah menyerang sekitar 210 negara termasuk Indonesia dengan korban jiwa mendekati angka 200 ribu jiwa. Maka sudah seharusnya bila Pemerintah Indonesia sangat serius untuk menangani pageblug ini sekaligus menganggap wabah Corona ini sebagai bencana nasional. Sekaligus menempatkan keselamatan rakyat sebagai dasar utama pengambilan keputusan.
Bukti keseriusan itu diperlihatkan dengan berbagai treatment yang telah dilakukan terlepas adanya berbagai polemik yang terjadi. Salah satunya adalah penerbitan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang mengatur tentang realokasi dan refocusing anggaran untuk penanganan wabah Covid 19. Setelah penerbitan Perppu itu, Presiden Jokowi kembali menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 9 Tahun 2020 yang merupakan perubahan Keppres No 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Wabah Covid 19.
Sayang, dalam Keppres No 9 Tahun 2020 itu hanya mengatur tentang Gugus Tugas Penanganan Covid 19 yang melibakan semua departemen dan instansi serta realokasi anggaran yang diatur dalam Pasal 13 tetapi tidak mengatur secara detail tentang pola relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam penanganan wabah Corona. Padahal lambannya penanganan wabah Corona ini tidak terlepas dari adanya polemik perebutan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dengan dibumbui adanya persaingan politik antara kubu yang mendukung dan kontra terhadap pusat kekuasaan.
Terbitnya Perppu beserta aturan-aturan turunannya itu belum mampu memperlihatkan adanya harmoni hubungan antara semua elemen bangsa, yang bisa menciptakan kesamaan cara pandang dan gerak untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa termasuk munculnya pandemik yang menuntut penanganan secara cepat dan terukur. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak relaistis dan hanya berbekal niat baik.
Seperti misalnya pemberlakukan PSBB atau lockdown tipis-tipis, hanya berbekal niat baik untuk menyelamatkan jiwa masyarakat dari serangan Covid 19 tapi tidak disertai dengan kebijakan untuk menyelamatkan perut masyarakat yang terdampak wabah Covid 19. Karena program JPS dengan berbagai variannya tidak bisa menyentuh semua elemen masyarakat. Apalagi pelaksanannya juga tidak segera direalisasi dan terlalu lama berwacana, sementara kebutuhan pangan masyarakat terus menuntut dalam hitungan jam per jam.
Maka tidak mengherankan bila muncul fenomena civil disobedien (pembangkangan sipil) dalam bentuk berbagai macam pelanggaran terhadap ketentuan PSBB, meski jumlahnya relative kecil. Karena mustahil meminta rakyat untuk tunduk dan patuh apabila kondisi perut mereka kelaparan. Ironisnya, masyarakat justru ‘disuapin’ dengan ancaman terhadap pihak-pihak yang melanggar PSBB seperti misalnya ancaman pidana mengunakan pasal 212 KUHP ataupun berbagai ancaman pidana serta sanksi financial (denda) bagi para pelanggar.
Dalam kondisi yang serba darurat seperti saat ini seharusnya semua pihak mau duduk bersama dan merumuskan kebijakan yang terukur dan efektif secara bersama-sama sebagai ‘ijtihad’ bersama untuk menyelamatkan bangsa. Bukan justru menggunakan berbagai peraturan yang ada sebagai pembenaran untuk merumuskan kebijakan ego sektoral yang pada akhirnya justru menimbulkan kebingungan sekaligus apatisme masyarakat. Seperti misalnya Gubernur DKI yang menggunakan Permenkes berkeinginan untuk melarang setiap Ojol mengangkut orang, namun keputusan itu dianulir oleh Kemenhub. Tetapi meski kebijakan itu telah dianulir, aplikasi Ojol tetap tidak bisa digunakan.
Begitu juga beberapa kepala daerah yang berharap KCL Jabodetabek untuk berhenti sementara selama pandemik Covid 19, tetapi usulan itu terganjal oleh kebijakan Kemenhub dengan berbekal peraturan PSBB yang memberikan pengecualian terhadap 8 sektor. Rencana pemberian bantuan yang menggunakan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kini-pun terhalang oleh peraturan adanya audit terelbih dahulu sebelum dana itu dikucurkan. Berbagai faktor itulah yang justru membuat masyarakat bingung, ketimbang rasa nyaman telah mendapat perlindungan dari negara.
Carut-marut penanganan wabah Covid 19, kian membuktikan jika bangsa ini tengah mabuk peraturan, yang dijadikan pembenaran untuk mengedepankan ego sektoral. Sehingga tidak mengherankan bila bangsa ini terkesan sempoyongan dan terhuyung-huyung dalam menghadapi serangan ‘pedang’ Corona. Kalaupun toh bangsa ini telah mengeluarkan jurus untuk menangkis serangan Covid 19, yang terkesan muncul justru ‘jurus dewa mabuk’.***