a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Omnibus Law Jangan Menjadi Omni push Law

Omnibus Law Jangan Menjadi Omni push Law<br><br>
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pergantian rezim dari rezim Keppres (Keputusan Presiden) dan Inpres (Instruksi Presiden) menjadi rezim undang-undang telah melahirkan kompleksitas persoalan tersendiri. Seperti diketahui, saat era Ode Baru yang ditandai dengan kekuasaan presiden yang sangat hegemonik, atau bila kita meminjam jargon Raja Louis XIV, l etats ce’ts moi (negara adalah saya), kebijakan negara sangat tergantung dari selera Presiden Soeharto dengan menggunakan instrumens Keppres serta Inpres.

Hal itu diberlakukan hampir pada semua aspek kehidupan. Lengsernya Soeharto karena digeruduk oleh mahasiswa melalui gerakan reformasi membawa perubahan yang sangat fundamental dan mendasar terhadap hukum ketata negaraan. Dengan dimulai dari amandemen terhadap UUD 1945, ada semangat untuk membatasi kekuasaan presiden, yang cenderung disalah gunakan sesuai dengan tesis Lord Acton, power absolute tends to corrupts (kekuasaan yang absolute cenderung korup).

Gerakan reformasi itulah yang menjadi titik balik, semua aspek kehidupan diatur berdasarkan undang-undang sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum (rechstaats) dan bukan negara kekuasaan (machstaats). Hingga saat ini belum ada literatur resmi yang menyatakan berapa jumlah total undang-undang yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, tetapi banyak yang meyakini jumlahnya mencapai ribuan undang-undang. Maklum DPR era reformasi ini semakin getol bikin UU baru melalui Program Prolegnas, konon pada periode 2015-2019 lalu saja setidaknya ada 160 RUU yang digodok oleh DPR.

Disisi lain pasca terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagai antitesa dari sistem pemerintahan sentralistik selama Orde Baru melahirkan kerumitan baru. DPRD baik tingkat I maupun tingkat II semakin doyan bikin Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai akan memberikan benefit bagi daerahnya masing-masing. Disinilah problemanya, minimnya sosialisasi setiap RUU karena mengadalkan fiksi hukum jika semua orang dianggap tahu (persumpsio iures de iure), banyak produk peraturan dan perundang-undangan baru yang saling bertubrukan.

Presiden Jokowi sempat menyebut sekitar 1700 peraturan yang saling bertabrakan atau terjadi disharmoni. Impacnya, bisa menimbulkan kesan, jika pemerintah tidak konsisten sehingga menghambat proses investasi. Karena kondisi itulah banyak komitmen investasi yang akhirnya batal karena birokrasi yang rumit dan berbelit - belit. Konsideran itulah yang memunculkan gagasan pemerintah untuk menerbitkan UU Sapujagat (Omnibus Law), Setidaknya ada 74 UU yang disasar dan mau ‘dilebur’ agar terjadi harmonisasi dan keselerasan peraturan sehingga tercipta kepastian hukum dan ramah investasi, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keinginan dan konsideran itu terdengar sangat indah, semua demi kepentingan bangsa dan negara, tetapi persoalannya berapa peraturan perundang-undangan yang akan dipush dan ‘dibuldoser” oleh proses Omnibus Law, sehingga menimbulkan kesan ada upaya represi gaya baru yang dikembangkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah Pasal 11 RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja tentang penanaman modal asing dalam perusahaan pers, serta Pasal 18 tentang sanksi pidana dan sanksi perdata terhadap perusahaan pers yang terlibat perselisihan, jelas ini akan sangat memberatkan perusahaan pers. Apalagi sanksi perdata berupa denda sebesar Rp 2 milliar, jelas akan ‘membunuh’ perusahaan pers secara sistematis.

Masuknya kedua pasal itu jelas berpotensi akan memberangus kebebasan pers yang telah dijamin dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Padahal selama ini telah tercipta mekanisme penyelesaian sengketa yang elegan, melalui proses pemberian hak jawab serta mediasi. Maka apabila pemerintah tetap ngotot memasukkan kedua pasal tersebut, ini akan semakin menguatkan tudingan jika pemerintah melakukan tindakan represif gaya baru terhadap pers.

Meski dikejar tenggat waktu (deadline), tetap perlu kehati-hatian dan pikiran jernih dalam menerbitkan UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, agar niat baik itu justru tidak akan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Sebagai catatan, popularitas Jokowi itu melambung juga berkat bantuan pers yang menjadikan mantan Walikota Solo itu sebagai media darling dengan aksi blusukan yang dilakukannya serta program Mobnas. Tetapi dengan penerapan UU Sapujagat itu jumlah perusahaan pers yang sudah berkurang jauh selama pemerintahan Jokowi ini akan semakin menyusut. Apalagi untuk mengawal proses pembangunan, fungsi pers sebagai wacth dog sekaligus pilar demokrasi ke empat harus tetap dijaga,***
Opini Omnibus Law Jangan Menjadi Omni push Law<br><br>