Presiden Joko Widodo memberikan pidato "Visi Indonesia" di Sentul International Convention Center
Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Pro Legal News - Dalam pidato visi dan misi pemerintahan lima tahun ke depan di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/7), Presiden Jokowi mengungkapkan jika pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menempati skala prioritas kedua setelah melanjutkan pembangunan infrastruktur. Niat itu dibarengi dengan upaya untuk memenuhi amanah UU dalam alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN. Untuk mewujudkan tekad itu pemerintah telah menambah alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2019 ini sebesar Rp 48,4 triliun menjadi Rp 492,555 triliun.
Pembangunan SDM (human resource) menjadi salah sektor yang krusial untuk mempersiapkan bangsa ini dalam menghadapi era globalisasi serta MEA. Karena dalam era pasar bebas, kompetisi menjadi basis utama untuk menentukan nasib setiap individu bisa bertahan atau tidak. Maka mempersiapkan SDM yang berkualitas menjadi sebuah keniscayaan dan salah satu tanggung jawab pemerintah. Upaya itu harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar ketertinggalan. Sebagai catatan, menurut Survei Political And Economic Risk Consultan (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Sementara berdasarkan data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000) lalu, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.
Namun faktanya upaya pemerintah itu hingga saat ini belum berbanding lurus dengan prestasi yang diperoleh dunia pendidikan di Indonesia. Dengan jumlah siswa sekitar 50 juta dengan tenaga pengajar sekitar 2,6 juta yang tersebar di sekitar 250.000 sekolah, sistem pendidikan kita menjadi yang terbesar ke 4 setelah China, India, dan Amerika. Sayangnya, berdasarkan data dari Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, UNESCO, kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dibanding dengan negara lain. Termasuk beberapa negara tetangga seperti Thailand dan Philipina.
Padahal sejak dilantik, pemerintahan Jokowi-JK telah memiliki beberapa program prioritas untuk menopang target pembangunan SDM itu diantaranya dengan memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang jumlahnya terus bertambah. Pada 2018 lalu pemerintah sudah menyalurkan KIP untuk 18,7 juta anak. Jumlah tersebut melebihi target yang ditetapkan sebelumnya yakni sebanyak 17,9 juta siswa. Kondisi itulah yang memunculkan pertanyaan, apakah pemerintah tidak memiliki blue print (cetak biru) yang jelas atau memang eksekusi kebijakan pada tingkat kementerian terkait yang tidak efektif, sehingga belum menghasilkan perubahan yang signifikan.
Karena secara empiris, meski pemerintah telah menambah alokasi anggaran pendidikan, biaya pendidikan bukannya turun tetapi justru naik. Sehingga menjadi beban tersendiri bagi orang tua murid. Di sisi lain kesejahteraan para guru/dosen terutama untuk sekolahan dan perguruan tinggi swasta masih sangat memprihatinkan. Sehingga mereka tidak bisa mengajar secara maksimal, karena terpaksa mencari tambahan pendapatan dari usaha lain. Seharusnya ada subsidi buat sekolah dan perguruan tinggi swasta sebagai stimulus agar kualitas mereka meningkat.
Bahaya laten yang menghantui dunia pendidikan di Indonesia adalah perubahan kurikulum. Setiap pergantian pemerintah selalu terjadi perubahan kurikulum. Sehingga setiap siswa selalu harus melakukan penyesuaian. Para siswa tak ubahnya seperti kelinci percobaan. Kondisi itulah yang mengakibatkan tidak ada perubahan yang signifikan.
Dengan kondisi seperti itulah sudah seharusnya para stake houlders (pemangku kepentingan) bisa duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang tepat guna dan efektif untuk membenahi sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Baik dari sistem alokasi anggaran yang akuntabel dan kredibel maupun dari sisi terciptanya sistem pendidikan yang simple tetapi efektif dalam menciptakan generasi muda yang cerdas, inovativ, tangguh serta visioner karena pengusaan Iptek dan Imtaq yang memadai.
Jangan sektor yang strategis itu hanya dijadikan ajang percobaan serta bagi-bagi proyek semata. Apalagi bila Kementerian ini diberikan kepada orang-orang partai. Sehingga sangat memungkinkan untuk dieksploitasi demi kepentingan partai tertentu. ***