Nyaris hampir setiap hari publik disuguhi dengan pemberitaan dari media massa, baik cetak maupun elektronik tentang tindakan aparat keamanan yang menangkap bahkan menembak para pelaku kejahatan. Tak jarang para pelaku kejahatan itu hingga meregang nyawa setelah ditembus peluru aparat. Mereka biasanya adalah para pelaku kejahatan seperti, pembegalan, pencurian dan perampokan hingga pemerkosaan. Kesigapan dan kerja keras para aparat itu tentu saja harus diapresiasi sebagai upaya untuk menciptakan kemananan dan ketertiban di masyarakat (Kamtibmas) sebagai tugas utama dari aparat Kepolisian seperti yang telah diatur dalam UU. No 22 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Tetapi apakah upaya itu telah memenuhi rasa keadilan sekaligus bisa menimbulkan efek jera (detterent effeck) terhadap para pelaku kejahatan atau masyarakat untuk tidak melakukan hal yang sama ?, itulah yang perlu diuji. Sesuai dengan tesis John Austin maupun Jeremy Bentham, melalui teori utilitarianisme setiap sanksi pidana itu harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti, konkrit, mendasar dan memberikan manfaat untuk menghadirkan keamanan dan kebahagiaan. Maka apakah tindakan aparat itu telah memenuhi semua aspek itu ?. Disinilah perlu adanya pengkajian secara menyeluruh terhadap proses penegakan hukum kita, baik pada tingkat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim sebagai bagian dari catur wangsa penegakan hukum di Indonesia.
Penegakkan hukum dengan mengabaikan rasa keadilan, hanya akan melahirkan sikap apatis di masyarakat ketimbang sikap kepatuhan terhadap hukum itu sendiri.
Norma hukum hanya akan dimaknai sebagai norma yang represif ketimbang aturan afirmatif yang harus ditaati. Ada beberapa parameter yang bisa digunakan untuk menilai jika pemerintah belum serius untuk menciptakan keadilan.
Dalam pemberitaan tentang para penjahat yang disergap dan ditangkap hingga ditembak itu adalah para pelaku kejahatan seperti pembegalan, pencurian hingga perampokan. Dalam sistem hukum kita yang diatur dalam KUHP perbuatan pidana itu telah diatur dalam Pasal 362-367 KUHP. Ancaman hukuman maksimal perbuatan pidana tersebut bervariasi antara 4-7 tahun kurungan penjara.
Tergantung dalam proses pembuktian, dan nilai kerugian yang biasanya bersifat individual. Sebagai catatan, hingga saat ini belum ada kasus pencurian dengan tingkat kerugian yang sensasional.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti perbuatan pidana itu, tetapi hanya sekedar mengkomparasikan dengan treatment aparat penegak hukum kita terhadap para pelaku kejahatan maling uang negara (koruptor) sekaligus untuk menakar rasa keadilan itu. Karena perlakuan aparat terhadap para koruptor yang notabene mencuri dan merampok uang negara miliaran hingga triliunan itu sangat berbeda.
Sampai detik ini belum ada satupun koruptor yang ditembak jidatnya oleh para aparat penegak hukum. Bahkan vonis hakimpun juga tak pernah maksimal untuk menghukum para maling uang negara itu. Ironisnya, pernah seorang petinggi negara justru menggelar ‘karpet merah’ untuk menyambut seorang koruptor BLBI yang ngemplang uang negara hingga ratusan milyar.
Padahal kita telah sepakat jika korupsi itu masuk kategori sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) bersama dengan kejahatan pengedar narkoba sehingga diperlakukan secara khusus terhadap kasus korupsi dengan membuat Undang-Undang tersendiri (lex specialist), namun faktanya ancaman hukuman itu hanya sekedar garang di atas kertas. Hingga saat ini belum ada satu pun terpidana kasus korupsi yang dihukum maksimal (mati).Padahal hukuman maksimal (mati) dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meski baru sebatas pada korupsi dana bantuan bencana alam.
Bahkan kini ada upaya untuk mengamputasi kewenangan KPK sebagai lembaga ad hoc yang semula dibentuk untuk membantu percepatan proses pemberantasan korupsi. Tentu dengan berbagai argumentasi pembenaran, sehingga menimbulkan kesan jika pemerintah belum serius untuk menegakan keadilan yang menjadi tujuan utama adanya hukum.
Narasi di atas itu menjadi bukti empirik juga cara pemerintah untuk menegakkan hukum sekaligus mewujudkan rasa keadilan itu salah besar. Asas persamaan hukum (equality before the law), baru sebatas retorika. Dan semua masih sangat tergantung oleh kekuatan yang ada di dekat pusat kekuasaan (who’s man behind the gun). Perlu adanya kajian secara menyeluruh.***