Dapat dipastikan resesi global sudah diambang mata sebagai dampak dari pandemic Virus Corona. Bahkan Bank Dunia telah merelease data jika tahun ini pertumbuhan ekonomi dunia berada pada angka minus. Multiplier effect dari perekonomian dunia yang lesu itu pasti memberikan impact negatif terhadap perekonomian Indonesia, karena pasar ekspor pasti menurun drastis. Sementara cadangan devisa kita, pasti akan terkuras untuk membayar hutang luar negeri yang menumpuk serta adanya beban tambahan alokasi anggaran untuk menanggulangi wabah Covid 19. Untuk mencari hutang baru terbilang mustahil, karena rasio hutang kita terhadap PDB/APBN terus menggelembung.
Perekonomian nasional pasti akan mengalami bleeding procees (proses berdarah-darah) karena sektor riil mengalami mati suri sebagai dampak dari kebijakan social distancing (pembatasan interaksi social) yang bercita rasa lockdown. Semua kegiatan perekonomian nyaris berhenti, bahkan banyak pabrik yang berhenti beroperasi sebagai bagian dari upaya untuk mematuhi kebijakan pemerintah untuk melakukan social distancing. Pertanyaanya, apakah pemerintah telah menghitung dengan benar apa dampak sosial yang akan muncul dari kebijakan itu.
Kebijakan Jaring Pengaman Sosial (social safevty net) yang pernah saya usulkan itu bersifat sangat urgen karena daya tahan masyarakat untuk mematuhi kebijakan pemerintah itu sangat terbatas. Mayoritas masyarakat kita terutama untuk wilayah Jabodetabek adalah masyarakat urban dengan tingkat penghasilan yang minim yang hanya cukup untuk bertahan hidup satu hingga dua hari. Padahal kebijakan social distancing diperkirakan butuh waktu minimal dua minggu.
Memang pemerintah telah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan yang sedikit melegakakan diantaranya adalah relaksasi kredit terutama untuk masyarakat kalangan rendah seperti tukang ojek, supir taksi dan nelayan. Tetapi komponen masyarakat kelas bawah(miskin) bukan hanya supir ojol, dan supir taksi, tetapi juga kuli bangunan, supir becak, kuli panggul, buruh pabrik, buruh tani dan lain-lain yang jumlahnya jauh lebih besar dari supir ojol maupun supir taksi. Bila kita meminjam data BPS, setidaknya ada 9,22 % atau sekitar 24, 79 juta masyarakat kita masuk kategori masyarakat miskin.
Dan angka itu dapat dipastikan akan menggelembung bila kebijakan social distancing atau lockdown diperpanjang karena kebijakan itu pasti akan menguras simpanan masyarakat untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak buruh pabrik yang tidak mendapat upah karena pabrik tidak beroperasi, perusahaam finance pasti akan semaput, karena kebijakan relaksasi kredit yang secara otomatis mengancam kehidupan karyawan mereka. Untuk mengatasi hal itu, setidaknya pemerintah harus segera mengeluarkan kebijkan social safety net (JPS) terutama untuk wilayah-wilayah yang masuk kategori zona merah. Maka bila pemerintah tidak segera mengeluarkan kebijakan JPS itu bisa dipastikan akan muncul bencana baru pasca bencana Covid 19. Sebagai catatan Pemerintah Inggris memberikan subsidi untuk gaji karyawan swasta hingga 70%.
Walau dapat dipastikan jika pageblug (wabah) Covid 19 itu akan hilang seiring waktu datangnya musim kemarau, namun yang harus diantisipasi dari bencana ini adalah dampak susulan (contagion effect) dari bahaya itu sendiri. Dapat dipastikan kondisi ini untuk bisa kembali normal butuh waktu yang agak lama, tidak secara otomatis berakhir wabah Corona akan segera kembali normal. Sehingga butuh waktu untuk konsolidasi, yang secara otomatis butuh cost tersendiri, sementara daya tahan masyarakat miskin dapat dipastikan berada pada titik nadir.
Kondisi inilah yang sangat berbahaya, karena berpotensi memunculkan bencana kelaparan di mana-mana. Bahkan bila tidak diantisipasi akan memunculkan gejolak sosial berupa meningkatnya angka kriminalitas. Sekedar mengingatkan kondisi ini agak mirip dengan krisis moneter 1997, ketika itu rupiah mengelepar karena terdepresisai atas dolar yang berada pada kisaran Rp 16.000,-. Saat itu juga banyak pabrik yang tutup, karena depresiasi rupiah sehingga produk mereka tidak kompetitif, PHK terjadi dimana-mana. Sehingga angka kriminalitas melonjak tajam, dan pada akhirnya berujung dari proses reformasi 1998 yang berhasil melengserkan Soeharto.
Maka saya mengingatkan pada Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan kebijakan yang tepat guna. Loyalitas politik para pendukungnya tak akan ada gunanya bila kondisi perut mereka lapar. Kita harus belajar dari sejarah, jatuhnya Soekarno dan Soeharto itu karena kondisi perekonomian yang remuk apapun penyebabnya. Sementara bagi lawan-lawan politiknya hanya menunggu di tikungan sehingga ketika pemerintah salah mengambil kebijakan akan didramatisir sedemikian rupa sekaligus dijadikan sebagai amunisi poltik untuk menyerang pemerintah, sekaligus berusaha menjatuhkannya.***