Selamat tahun 2020, semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Memasuki tahun bershio tikus, saya ingin membuat catatan awal tahun tentang cara pemberantasan tikus-tikus uang rakyat yang efektif. Judul diatas bukan cerminan sikap pesimis dan frustasi terhadap upaya pemberantasan korupsi serta tekad untuk menciptakan cleans and good governance, tetapi upaya pemberantasan korupsi bila tidak dilakukan secara sistemik dan lintas sektoral hanya seperti mengejar ilusi yang menguras energi. Bahkan korupsi bisa menjelma menjadi budaya nista.
Setidaknya ada tiga tataran yang harus dilakukan secara simultan dan berkesinambungan agar upaya pemberantasan itu bisa membuahkan hasil yang maksimal. Pertama adalah reformasi hukum, kedua adalah reformasi politik serta ketiga adalah revolusi kebudayaan. Reformasi hukum itu bisa dimulai dengan menata secara kelembagaan terhadap aparat penegak hukum terutama dalam upaya untuk memberantas korupsi tidak hanya dibebankan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hanya bersifat ad hoc. Meski lembaga anti rasuah itu telah ‘mati-matian’ memberantas korupsi dengan memenjarakan banyak pejabat toh hingga saat ini belum ada tanda-tanda korupsi akan berkurang.
Optimalkan fungsi supervisi KPK terhadap lembaga hukum lainnya, Polri dan Kejaksaan seperti tujuan awal agar kedua lembaga tersebut lebih kapabel dan kredibel. Karena tidak mungkin membebankan semua persoalan itu mengingat jaringan KPK yang masih relative kecil dibandingkan dengan kedua lembaga itu. Bahkan yang tejadi saat ini bukannya sinergi antar lembaga tetapi justru rivalitas antara lembaga negara.
Upaya pemeberantasan korupsi melalui reformasi hukum juga bisa dilakukan dengan maksimalisasi sanksi pidana terhadap para koruptor. Karena sudah menjadi rahasia umum jika sanksi pidana kita terhadap koruptor masih sangat ringan. Padahal kita telah sepakat jika korupsi telah masuk kategori extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa). Sebenarnya hukuman maksimal itu telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun hingga saat ini ketentuan itu belum pernah diaplikasikan. Maka perlu adanya pengawasan internal di MA untuk mengawasi hakim-hakim yang diduga nakal dan ‘main mata’.
Langkah kedua yang tak kalah penting, adalah reformasi politik. Sistem pemilihan langsung dan sistem multipartai sebagai buah dari amandemen UUD 1945 ternyata justru melahirkan kompleksitas persoalan dan menjadi biang munculnya koruptor-koruptor baru. Pemilhan Presiden (Pilpres) dan Pilkada langsung justru melahirkan high cost politic (politik biaya tinggi). Bila tidak dari kocek sendiri sang calon, biasanya akan lahir cukong-cukong politik yang mau menjadi sponsor sang calon. Faktor inilah yang akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang oligarkis. Dan biasanya para cukong-cukong politik itu pasti meminta sejumlah konsesi baik dalam bentuk proyek maupun kebijakan yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Munculnya berbagai macam spekulasi dalam kasus Jiwasraya berasal dari analogi seperti itu.
Maka sudah saatnya kedaulatan dikembalikan pada rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen. Sehingga biaya Pilpres maupun Pilkada bisa ditekan sedemikian rupa sekaligus menghindarkan bangsa ini dari fragmentasi politik yang saling berhadapan. Rendahnya biaya itu akan membuat para politisi tidak akan mengejar setoran agar balik modal. Kemungkinan terjadinya manipulasi kedaulatan rakyat oleh para Anggota MPR untuk menerima suap dari sang calon bisa dilakukan dengan pengawasan yang ketat baik oleh aparat penegak hukum, LSM maupun pers yang telah didefinisikan oleh Thomas Jefferson sebagai pilar demokrasi ke 4.
Kedua langkah itu tak aka ada gunanya dan sia-sia dilakukan tanpa adanya revolusi kebudayaan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah budaya borjuis dan hedonis. Padahal dari struktur gaji dan pendapatan, masyarakat kita termasuk para ASN kita tebilang sangat kecil. Kondisi inilah yang memicu terjadinya korupsi dengan berbagai variannya mulai dari tingkat briberi (uang pelican) hingga katabelece sebagai bentuk dari penyalah gunaan wewenang (abuse of power).
Upaya untuk melakukan revolusi kebudayaan itu bisa dimulai dari pimpinan yang tertinggi (presiden) dengan memberikan keteladanan yang bersifat top down. Selain pemimpin formal, tugas yang strategis ini bisa dilakukan oleh pemimpin non formal seperti tokoh-tokoh agama dan masyarakat maupun politik untuk memberikan guiden (panduan) sesuai dengan nilai-nilai agama maupun falsafah lokal untuk hidup jujur dan sederhana Bukan justru menjadi contoh buruk dengan menjelma menjadi pedagang ayat sekaligus mengkomersilkan nilai-nilai agama hanyak untuk mendukung gaya hidupnya yang borju, seperti misalnya para pengkotbah yang memasang tarif untuk mendkung gaya hidup mereka yang mewah.
Berhasilnya pemberantasan korupsi itu ditandai dengan munculnya kesadaran bahwa korupsi itu kotor dan merupakan perbuatan dosa. Bukan berhasil menangkap koruptor hanya karena apes modus korupsinya telah terbongkar.***