Membaca tulisan artikel Dr Yovita Arie yang berjudul ‘Pemilu Bukan Sekedar Alasan Penggunaan Hak Pilih’ tanggal 19 April 2019 lalu di timlo.net, penulis hendak menambahkan beberapa catatan kecil terkait artikel dimaksud, bahwa diketahui pelaksanaan Pemilu tahun 2019 ini semakin menunjukkan komitmen kedaulatan rakyat yang semakin tinggi dan mumpuni serta pengorbanan maupun semangat bergelora semua pihak, terkhusus pemilih yang dapat merasakan pemilu tahun 2019 ini sebagai momentum penting membangkitkan kesadaran demokrasi dan berpolitik masyarakat.
Karenanya melihat perkembangan tersebut seharusnya pemilih maupun peserta pemilih harus lebih dewasa dan matang dalam berdemokrasi, dan mampu hindari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan hukum ataupun hal hal yang dapat memicu keretakan perpecahan antar masyarakat apalagi membuat kerusuhan yang berpotensi konflik sosial.
Pancasila dan UUD 1945 sebagai auto regulator (istilah penulis) nyata telah menggerakkan moment Pemilu dan menjadi kekuatan nilai demokrasi bangsa tak terlepas dari produk transenden. Produk transenden pendiri bangsa yang pertama kali adalah Pancasila. Terdapat Ikrar Ketuhanan dalam Pancasila menunjukkan kualitas bangsa yang transenden inilah yang mewarnai dan menjadi satu kesatuan yang utuh pada ke empat sila lainnya (kemanusiaan, persatuan, kerakyatan perwakilan yg berkhidmat, serta keadilan sosial).
Ikrar Ketuhanan dalam Pancasila menunjukkan kualitas bangsa yang transenden, mempercayai pada kebesaran Tuhan dan kehendak Tuhan setelah manusia berupaya maksimal dengan segala jiwa, akal dan raganya. Maka pancasila sebagai postulasi merupakan cita bangsa (staatsidee) sekaligus cita hukum (rechtsidee) yang berfungsi regulatif sekaligus konstitutif, konsekuensinya adalah setiap perilaku manusia Indonesia maupun setiap produk hukum yang berlaku di Indonesia merupakan batu uji dari Pancasila, artinya tidak dibenarkan ada pertentangan antara perilaku maupun produk hukum dengan Pancasila, namun persoalannya atas nama kebebasan, terkadang terjadi putus nalar dan kesesatan logika dalam perilaku yang bermuara bagi potret pembangunan hukum di Indonesia ditambah dengan perkembangan masyarakat terkait tehnologi, sehingga potret perilaku dan praktik hukum yang dibangun kurang konsisten cenderung mengabaikan nilai dan makna Pancasila dalam implementasi.
Perilaku setiap warga maupun nilai produk hukum jadi bias, ini yang harus dikembalikan agar arah tujuan bangsa dapat kembali sebagaimana dicita citakan para pendiri bangsa. Pancasila tidak hanya sebagai "hiasan" dan sekedar diucapkan namun harus menjadi "jantung" sekaligus "nafas" bagi setiap warga negara Indonesia terkhusus lagi penyelenggara negara. ***
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno & Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia(Alpha).