Setiap rezim memiliki jurus yang berbeda-beda saat menghadapi krisis, meski ada kemiripan pola yakni menjalankan sosialisme filantropi (melalui berbagai paket bantuan) yang dimaksudkan sebagai stimulus untuk tetap menjaga roh perekonomian nasional tetap bernyawa. Ketika Indonesia disapu gelombang krisis moneter, pada tahun 1997, praktis terjadi kiamat kecil terhadap perekonomian nasional. Saat itu sektor riil benar-benar megap-megap karena mengalami kesulitan likuiditas yang mengakibatkan dunia usaha tersedak dan tak bisa bernapas.
Maka untuk menyelematkan nyawa perekonomian nasional, rezim Orde Baru mengeluarkan paket bantuan dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap dunia perbankan. Sehingga diharapkan kredit tetap berjalan pada sektor riil untuk menghela perekonomian nasional. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pemberian BLBI pada tahun 98 itu, negara setidaknya mengeluarkan anggaran Rp320 triliun untuk 54 bank swasta.
Secara empirik pemberian bantuan itu penuh dengan skandal yang merugikan keuangan negara sekaligus menjadi ajang bancakan oleh para konglomerat hitam serta sejumlah pejabat yang terkait dalam proses pemberian bantuan itu. Bahkan menurut data dari ICW, hingga saat return (pengembalian) dana itu baru mencapai 8,5 persen atau sekitar Rp 27,2 T. Dan tercatat banyak mantan pejabat yang memiliki otoritas pemberian bantuan itu digelandang oleh KPK karena terindikasi ikut dalam proses bancakan dana haram itu.
Selain proses pemberian bantuan yang penuh dengan skandal, ternyata BLBI tidak memiliki pengaruh signifikan dalam prosesrecovery serta membangunkan perekomomian nasional dari semamput yang panjang. Karena faktanya recovery perekonomian itu justru sembuh dengan sendirinya karena sektor Usaha Mikro Kecil Menengh (UMKM) yang tangguh meski mereka tidak memiliki akses permodalan dari perbankan nasional. Secara perlahan perekonomian Indonesia sempat bangkit, bahkan dalam satu dasawarsa perttumbuhan ekonomi Indonesia sempat bertengger pada kisaran 5-5,5 % pertahun yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia setelah China dan India.
Ketika pageblug (bencana) Covid-19 muncul, Indonesia kembali terseret ke pusaran krisis ekonomi dunia. Karena nyaris tidak ada satu negarapun yang luput dari serangan virus itu. Berbeda dengan kebijakan pemerintah sebelumnya meski sama-sama menjalankan politik sosialisme filantropi, tetapi pemerintahan Jokowi merubah haluan, jika sebelumnya paket bantuan itu diberikan pada segelintir konglomerat hitam, kini justru berubah 180 derajat, paket bantuan itu diberikan pada seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menanggulangi wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) ini, pemerintah telah menerbitkan instrumen hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 tentang, Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid 19. Untuk mendukung paket kebijakan itu pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun yang berasal dari dana realokasi, refocusing, serta mandatory spending (penyesuaian belanja negara) dalam APBN 2020. Alokasi anggaran itu terbagi menjadi beberapa pos anggaran seperti, Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan serta Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat.
Distribusi anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp 110 triliun itu diantaranya adalah, pemberian bantuan terhadap 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima Program Keluarga Harapan (PKH), dengan nilai bantuan dinaikan 25% setahun. Bantuan untuk 20 juta penerima kartu sembako yang naik 33 % selama 9 bulan. Pemberian bantuan terhadap penerima Kartu Pekerja sebesar Rp 20 triliun yang diprediksi bisa untuk mengcover 5,6 juta pekerja informal. Pemberian bantuan untuk subsidi tarif listrik dan kredit rumah serta pemberian paket sembako.
Pemberian bantuan melalui program Jaring Pengaman Sosial (social safety net) yang sering saya usulkan sebelumnya ini layak untuk diapresiasi sebagai upaya antisipasi (forward looking) terhadap kemungkinan terjadinya dampak susulan (contagion effect), tetapi kebijakan itu masih harus dibedah efektifitasnya. Seperti kita ketahui bahwa pandemic Covid 19 ini telah menyasar semua kalangan sehingga dampaknya menimpa semua strata social, baik kalangan miskin, setengah miskin, menengah serta yang kaya.
Maka setelah kebijakan sosialisme filantropi itu diberikan dalam bentuk berbagai paket bantuan, diharapkan kondisi perekomomian nasional segera pulih dan kembali normal. Apalagi dengan pemberian paket bantuan uang tunai kepada beberapa kelompok masyarakat, diharapkan daya beli masyarakat bisa ditopang setidaknya untuk sementara. Sehingga sector riil akan terus menggeliat dan bergerak untuk mencapai kesembuhan secara total.***