Puisi karya sastrawan dan filusuf asal Lebanon, Kahlil Gibran, Pity The Nation (Bangsa Kasihan) bisa menjadi bahan refleksi yang relevan tentang kondisi sosial, ekonomi dan politik saat ini. Frase mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya menjadi kritik terhadap fenomena impor tekstil dan pakaian bekas yang saat ini marak. Memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, menjadi satire sebagai bangsa agraris kini kita menjelma menjadi importir beras terbesar di dunia.
Bahkan tertulis sebait ironi, jika sebagai negeri bahari kini berubah menjadi importir ikan asin. Paradoks yang sama, sebagai negeri yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia kini secara pelahan disulap menjadi importir garam. Negeri yang diberkahi alam yang subur serta memiliki perkebunan karet terluas di dunia ini kini berubah importir ban. Memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, tapi kini secara perlahan menjadi importir tenaga kerja dari Tiongkok. Padahal disaat yang hampir bersamaan terjadi PHK massal diberbagai tempat.
Sebuah negara yang memiliki padang sabana yang luas dengan kualitas ternak yang sangat bagus, karena ‘permainan kartel’ kini secara perlahan menjadi importir daging dan ternak dari berbagai negara. Nasib serupa juga terjadi terhadap para peternak ayam yang harus menghadapi gempuran impor paha ayam dari berbagai negara. Bangsa yang memiliki kekayaan tambang dan mineral yang melimpah dengan kualitas BBM yang sangat tinggi, kini terjebak sebagai konsumen BBM yang tergantung dari negara lain.
Negeri yang saat ini terus menghiba-hiba kepada para renternir global untuk membiayai pembangunan. Praktek rente yang sangat riskan bila kita tidak bisa mengembalikan utang. Sementara modal yang didapat digunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif. Entah apa yang terjadi, seandainya kita mengalami fraud (gagal bayar).
Kemandirian ekonomi yang menjadi mimpi dan obsesi bersama hingga saat ini baru sebatas retorika. Karena sesuai dengan frase sarkas Kahlil yang menyatakan negarawannya seperti srigala yang memiliki filosofi gentong mati, semua elit politik lalai untuk segera mewujudkan keinginan dan cita-cita bangsa karena terlalu asyik cakar-cakaran untuk berebut kursi kekuasaan.
Jika semua pihak mengklaim sangat prihatin dan care dengan kondisi bangsa ini, sudah seharusnya mereka segera meletakkan baju masing-masing dan singsingkan lengan untuk maju bersama-sama, seperti apa yang pernah digelorakan oleh Bung Karno, rawe-rawe rantas malang-malang putung, cancut tali wondo (semua elemen bangsa bekerja sama-sama untuk segera mewujudkan cita-cita bangsa), tidak hanya berkoar-koar menebar retorika dan janji-janji palsu. Ketika nafas bangsa ini sudah berada di tenggorokan karena kondisi perekonomian yang sulit. Tak perlu narsis dan mengklaim berhasil jika faktanya kondisi masyarakat yang semakin susah.
Berbekal legitimasi yang kuat pasca penetapan secara definitif, pemerintah baru yang memiliki motto, kerja, kerja dan kerja harus segera bergerak cepat. Etos kerja yang sudah diperlihatkan harus segera ditingkatkan, analoginya pemerintah sekarang harus segera tancap gas dengan gigi tiga, untuk segera membenahi keadaan. Bila tidak ingin kondisi akan semakin sulit. Hidupkan sector riil agar denyut nadi perekonomian kembali berdetak. Kurangi belanja modal yang tidak produktif. Saat ini bukan lagi saat yang tepat untuk membuat proyek-proyek mercu suar. Tetapi proyek-proyek yang bisa menjadi stimulus bagi sector riil.
Kasihan Bangsa Yang mengenakan pakaian Yang tidak ditenunnya, Memakan roti dari gandum Yang tidak ia panen Kasihan Bangsa Yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan Dan menganggap penindasan sebagai hadiah Kasihan Bangsa Yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur Sementara menyerah padanya ketika bangun Kasihan Bangsa Yang tak pernah angkat suara Kecuali ketika berjalan diatas kuburan Tidak sesumbar kecuali di reruntuhan Dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada diantara pedang dan landasan Kasihan Bangsa Yang negarawannya serigala Filosofnya gentong mati Dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru Kasihan bangsa Yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan Namun melepasnya dengan cacian Hanya untuk menyambut penguasa baru lain, dengan terompet lagi Kasihan Bangsa Yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu Dan orang kuatnya masih dalam gendongan Kasihan Bangsa Yang terpecah-pecah Dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa