Tanpa maksud latah mengikuti ramalan Vangeliya Pandova Dimitrova alias Baba Vanga yang menyatakan jika tahun 2020 adalah tahun kejatuhan Amerika, prediksi peramal yang dijuluki Notradamus dari Balkan itu sangat mungkin terjadi, bila melihat geo politik saat ini. Terutama setelah Trump secara serampangan dan arogan memberikan instruksi untuk menyerang pangkalan udara di Irak yang mengakibatkan, Jenderal Qossem Sulaemani beserta beberapa pengawalnya tewas.
Meninggalnya komandan pasukan elit Iran yang sebelumnya membantu Amerika dalam menyerang Taliban dan Al Qaidah ini membuka babak baru konstelasi politik yang bisa berujung terjadinya perang dunia ketiga. Dengan catatan, bila Amerika tidak mau segera merubah gaya politiknya yang agresif dan konfrontatif.
Bila acuannya adalah kalkulasi kekuatan militer kedua negara, pastilah Iran bukanlah ancaman yang serius buat Amerika, tak ubahnya seperti perseteruan antara kurcaci melawan raksasa atau antara David melawan Goliath. Kekuatan militer Amerika saat ini berada diperingkat 1 dunia, sebaliknya Iran berada diperingkat 14 dalam klasemen kekuatan militer dunia. Namun sejarah juga telah mencatat, bahwa kekuatan militer yang superior bukanlah jaminan suatu kekuatan atau negara akan dengan mudah memenangkan peperangan. Banyak variable yang akan menentukan apakah Amerika bisa dengan mudah melalui fase yang krusial ini.
Berdasarkan hipotesa saya ada factor internal dan eksternal yang akan sangat menentukan langkah Amerika selanjutnya. Manuver, Donald Trump ini semula hanya untuk kepentingan politik domestik, yang ingin mendongkrak popularitasnya mengingat pamor dan legitimasinya sebagai Presiden Amerika saat ini sudah ambrol. Bahkan mantan suami artis Marla Marples ini tengah menghadapi bayang-bayang impeachment dari kongres terkait berbagai kebijakannya yang menekan pemerintah Ukraina serta berusaha menghalang - halangi penyelidikan yang dilakukan oleh kongres. Meski Bangsa Amerika dikenal moderat tetapi bila terkait kebijakan politik mereka sangat straigh.
Semula, Trump ingin mencontek strategi George W Bush yang memompa popularitasnya dengan cara menginvasi Irak dan ternyata Bush berhasil. Namun terbukti cara Trump ini sebaliknya. Berdasarkan hasil polling Reuters lebih separoh dari rakyat Amerika mengecam serangan itu dan tetap mendesak agar Trump segera dilengserkan. Apalagi kantong pemerintah Amerika saat ini lagi tongpes. Pada tahun 2019 APBN mereka lagi bobol karena mengalami defisit anggaran yang mencapai US $ 984 miliar atau sekitar Rp 13.000 triliun dan defisit itu juga disebabkan oleh politik Amerika yang agresif dan konfrontatif.
Salah satunya adalah untuk membiayai pengerahan pasukan Amerika di Irak. Artinya kondisi internal Amerika saat ini kurang kondusif, karena kongres pasti traumatis dan akan menentang kebijakan ofensif Trump itu.
Kondisi sebaliknya terjadi di Iran pasca serangan ‘pengkhianatan’ itu justru menyatukan rakyat Iran yang semula bergejolak. Mereka menganggap Sulaimani adalah pahlawan serta menjadi orang kedua yang paling dihormati setelah Ayatollah Ali Khamenei. Kematian itu justru memacu heroisme dan militansi rakyat Iran terbukti ribuan orang rela berdesak-desakan yang mengakibatkan sekitar 90 orang tewas. Militansi inilah yang bisa tersublimasi menjadi kekuatan yang menakutkan. Karena bisa bertransformasi menjadi berbagai bentuk untuk menyerang kepentingan-kepentingan Amerika.
Factor yang tak kalah penting untuk dihitung adalah factor eksternal. Ada beberapa pihak yang pasti memperoleh keuntungan dari perang itu. Iran adalah bangsa yang berasal dari ras Arya seperti halnya Jerman dan Israel. Konflik itu AS-Iran ini pasti dijadikan sebagai ajang perebutan hegemoni dan pengaruh oleh negara-negara yang dikenal memiliki faham Chauvinis (faham merasa bangsanya paling terhormat) itu. Dengan konstelasi itu maka bisa disimpulkan jika Jerman pasti berada di belakang Iran, walaupun mungkin tidak harus terlibat perang secara langsung (proxy war).
Selain Jerman, seteru abadi Amerika seperti China dan Rusia pasti tidak tinggal diam dan memanfaatkan momentum itu untuk menekan bila perlu membenamkan Amerika dengan meminjam tangan Iran. Bila negara-negara itu ikut cawe-cawe serta membentuk koalisi, maka kalkulasi kekuatan militer tadi menjadi tidak bermakna. Sementara negara yang bisa dipastikan loyal terhadap Amerika hanyalah Israel dan Australia. Artinya Trump saat ini tengah dihimpit dari dalam dan luar, sehingga dia tidak bisa bergerak leluasa. Kekuatan multinasional tidak mungkin mudah digalang seperti ketika Amerika menyerang Irak.
Maka bukan tidak mungkin ramalan Baba Vanga itu akan menjadi kenyataan, Amerika yang sering mengklaim sebagai global corp akan tinggal menjadi kenangan, karena ulahnya sendiri***