Munculnya kasus bom bunuh diri di Medan melahirkan pertanyaan besar masih adakah kelompok yang melakukan aksi barbar karena berangkat dari kesalahan tafsir atas permis, siapakah yang membela agama Tuhan niscaya Tuhan akan menolong hidupnya. Atau justru sebuah kekonyolan karena berbagai latar belakang seperti kebodohan karena minimnya literasi agama serta kemiskinan yang melahirkan fanatisme yang sempit. Permasalahan seperti lingkaran yang pelik itulah yang membuat bangsa ini kini sangat galau.
Sejak munculnya agama-agama, baik agama Samawi seperti Yahudi, Nasrani dan Islam serta beberapa agama Ardhi lainnya, kebutuhan transeden manusia bisa terpenuhi. Karena agama memberikan metodologi berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya melalui ibadah dan do’a.
Dengan ibadah dan do’a itulah manusia merasa tenang jiwanya, sehingga tersublimasi dalam keyakinan yang diamalkan dalam kehidupan sehari hari. Sehingga kehadiran agama terutama Islam seperti yang termakthub dalam QS, Al Hadid (9) dan QS, Al Furqon (3) itu sebagai pembawa cahaya terang bagi peradaban yang gelap (jahiliah).
Keyakinan atas nilai-nilai agama yang kuat itu menurut orientalis, Rene David maupun Cristian Snouck Hourganje mustahil bila diganggu karena akan melahirkan perlawanan yang sengit atau militansi bagi pengikutnya yang lebih dikenal dengan terminology jihad.
Militansi berlandaskan keyakinan agama inilah yang disindir oleh Karl Marx sebagai opium atau candu. Karena militansi itu bisa menghadirkan kekuatan yang hyper real sebagai bentuk ibadah dan pengabdian yang akan memperoleh ganjaran dalam bentuk kehidupan yang serba nyaman dan abadi di surga nanti.
Padahal jihad fisabilillah sebagai bentuk ejawantah dari membela Tuhan dan membela agama Tuhan seperti yang termakthub dalam QS Muhammad (7), “Hai orang-orang mukmin jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kaki kalian,” atau QS Al Hajj (40), “Sungguh Allah akan menolong orang yang membelaNYA. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa,” maknanya itu sangat luas dan kontekstual serta tidak letter leks.
Jihad sendiri berasal dari frasa mujahaddal yang berarti optimalisasi amal sholeh, sehingga bukan semata-mata untuk memerangi orang kafir atau setidak-tidaknya pemerintahan yang thogut. Apalagi setelah adanya perjanjian Yastrib (Madinah) 522 M setidaknya ada 3 katogeri orang kafir. Dan menurut Nabi Muhmmad SAW hanya kafir Harbi (orang non Muslim yang mengganggu dan memerangi Muslim) yang pantas untuk diperangi. Dan dalam konteks saat ini mungkin hanya beberapa yang memenuhi kualifikasi seperti itu misalnya pemerintah junta militer Myanmar yang telah memerangi dan menindas kaum muslim Rohingnya (Rakhine), pemerintah Serbia yang pernah membantai Muslim Bosnia/Sarajevo.
Selebihnya jihad itu bersifat kontekstual baik dalam bentuk ibadah mahdhah (ubudiyah) maupun ibadah ghoiro mahdhah (muamalah). Dengan pengertian jihad fisabilillah sebagai bentuk perwujudan pembelaan kita terhadap Tuhan dan agama.
Tuhan itu bisa dimaknai sebagai upaya secara konsekuen dan konsisten untuk meyakini sekaligus mengamalkan nilai-nilai agama yang kita yakini. Sehingga eksistensi agama itu terlihat dalam denyut kehidupan kita sehar-hari. Karena salah satu tanda-tanda akhir zaman itu adalah ketika sudah jarang orang yang menyebut nama Tuhan.
Sehingga jihad bukan semata-mata kita melakukan perlawanan fisik untuk menegakkan panji-panji agama semata. Percuma juga kita menegakkan panji-panji menggunakan atribut-atribut agama tetapi kehidupan kita sehar-hari jauh dari nilai - nilai agama. Bisa kita ambil contoh miris dari orang-orang repatriasi dari ISIS di Suriah yang memberikan testimony jika gerakan yang sering mengatas namakan jihad itu ternyata dalam kehidupan sehari-hari jauh dari syariat Islam.
Bahkan dalam kategori ini kita bekerja untuk menghidupi keluarga dengan cara yang baik dan benar bisa masuk kategori sebagai jihad fisabillah. Kita melakukan dakwah bilhal (dengan amal perbuatan) sesuai dengan syariat agama juga masuk kategori dakwah. Sehingga jihad bisa diimplementasikan dalam berbagai hal.
Ada beberapa catatan yang menarik tentang fenomena radikalisme sebagai kesalahan tafsir atas ji8had fisabilillah. Untuk negara sebesar Indonesia, sangat sulit untuk menghilangkan anasir-anasir radikalisme dan ekstermisme selama masalah kemiskinan dan kebodohan terjadi di mana-mana.
Karena radikalisme itu bisa tumbuh sebagai bentuk rasa frustasi terhadap fenomena, social, politik dan ekonomi yang tidak berpihak terhadap kaum marjinal.
Untuk mengurangi stigma sebagai pemerintah yang thogut, maka pemerintah itu harus adil dan tegas. Disatu sisi pemerintah tak terkesan tak berdaya menghadapi berbagai macam ekspresi kebebasan atas nama seni seperti misalnya tentang tata busana yang sexy. Tetapi disisi lain pemerintah melarang tata busana yang merupakan ekspresi kepatuhan seperti niqab,hijab, cadar dan celana ngatung. Atas nama demokrasi seharusnya mereka juga jangan dilarang kecuali harus menyesuaikan.***