a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Simbol Perlawanan

Simbol Perlawanan
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ada fenomena yang unik, ketika Habib Umar Assegaf dari Bangil, Pasuruan, Jatim terindikasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dalam waktu tak terlalu lama justru memperoleh banyak dukungan.  Banyak pihak yang menyayangkan tindakan aparat terhadap pengasuh Majelis Maulid  Watta’lim Roudlotusallaf itu. Namun juga tidak sedikit yang menyesalkan tindakan Habib melawan petugas, dan dinilai bersikap arogan serta mau benarnya sendiri. Selain banyak yang mendesak aparat untuk mengambil langkah hukum sebaliknya banyak  juga pihak yang meminta agar aparat itu  diproses secara hukum.

Sebelumnya juga muncul fenomena yang tak kalah unik,  ketika Habib Bahar Smith  ditangkap lagi sehari setelah menghirup udara bebas melalui program asimilasi tahanan karena wabah Covid 19, tetapi justru mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan mulai para politisi  serta masyarakat. Padahal sebelumnya Habib Bahar Smith ini telah divonis hukuman dengan tiga tahun kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap seorang remaja.

Fenomena tehadap dua peristiwa itu tentu bukanlah sebuah anomali tetapi kecenderungan yang berbahaya terhadap penegakan supremasi  hukum  serta tumbuhnya budaya hukum, bahkan  justru memunculkan martirdrom syndrome(sindrome kesyahidan). Siapapun tokoh yang melakukan pelanggaran hukum justru dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan dan pusat kekuasaan. Para tokoh yang melakukan pelanggaran hukum itu akan diendorce baik secara terang-terangan maupun oleh sleeper agent (agen tidur), misalnya melalui Medsos untuk mencapai target masing-masing. Mereka pasti akan menggaungkan aroma politik dibalik kedua kasus itu.

Jauh sebelumnya, juga muncul peristiwa  yang mirip, ketika mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah divonis oleh majelis hakim dengan hukuman 2 tahun penjara karena dinilai telah melakukan perbuatan penistaan agama. Nyaris serupa dengan dua kasus tersebut, Ahok justru mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan. Mantan Bupati Beltim itu telah dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kemunafikan sistem dan perlawanan terhadap tirani mayoritas. Tak sedikit juga pihak yang menganggap jika kasus itu kental dengan aroma politis.

Ada beberapa hipotesa yang menjelaskan kenapa banyak orang yang terpidana justru memperoleh banyak dukungan dan menjadi simbol perlawanan. Pertama adalah inkonsistensi kebijakan seperti dalam kasus Habir Umar Assegaf, secara umum masyarakat binggung karena tidak adanya aturan yang ajeg (tetap dan konsisten), sehingga masyarakat tidak tahu mana aturan yang harus dipatuhi. Apalagi kebijakan itu tidak seragam, setiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda sebagai buah adanya otonomi daerah. Kondisi inilah yang memancing munculnya apatisme masyarakat  dengan bertindak semaunya. Contoh lain adalah membludaknya  masyarakat yang mengunjungi   pasar dan mall meski telah dilarang.

Kedua, konsitensi penegakkan supremasi  hukum  juga menjadi faktor penting munculnya simbol perlawanan. Karena merasa tidak ada perlakuan yang  sama  dan setara  di mata hukum sesuai dengan asas persamaan hukum (equality before the law). Misalnya dalam kasus Habib Bahar, penangkapan  kembali terhadap pengasuh Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin   karena melakukan pengajian lagi ini dinilai sebagai perlakuan kurang adil. Karena disaat yang hampir bersamaan ada konser solidaritas Covid 19 yang diadakan oleh BPIP. Maka disinilahnya pentingnya penjelasan dari pihak-pihak terkait tentang alasan penangkapan kembali itu. Tidak cukup hanya mengatakan adanya pelanggaran terhadap ketentuan asimilasi. Karena peneggakan hokum itutetap perlu keteladanan yang bersifat top down.

Ketiga, adalah profesinalisme dan independensi aparat penegak hukum. Selama ini ada kecenderungan aparat penegak hukum memposisikan diri sebagai sub ordinat kekuasaan. Sehingga setiap produk dan putusan hukum itu selalu dianggap politis. Maka bila aparat penegak hukum kita benar-benar bersikap profesional dan independen, tuduhan itu tidak akan pernah muncul. Penegakan hukum yang konsisten itu akan membuat masyarakat tunduk dan patuh terhadap semua ketentuan hukum yang berlaku.

Munculnya berbagai fenomena itu harus disiasati oleh pemerintah dengan managemen konflik yang efektif dan elegan. Karena hal itu tidak bisa dianggap remeh. Apabila eskalasi munculnya fenomena simbol perlawanan itu dibiarkan, akan muncul hero-hero lokal yang akan merongrong wibawa pemerintah. Bahkan jika pemerintah menyikapi fenomena itu secara dingin,  masyarakat akan berinisiatif untuk mengambil langkah sendiri. Dan itu  akan memunculkan konflik horizontal yang sangat berbahaya terhadap keutuhan NKRI. Dan gejala itu sudah mulai nampak dengan banyak sikap saling melakukan persekusi.***
Opini Simbol Perlawanan