a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Tak Mungkin Mencuri Milik Sahabat

Tak Mungkin Mencuri Milik Sahabat
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Manuver yang dilakukan oleh Kapal China Coast Guard (CCG 4301), 30 Desember 2019 lalu yang mengawal beberapa kapal nelayan China di Kepulauan Natuna bisa menjadi blessing in disguise (baca, hikmah), untuk mengukur tingkat ketulusan niat (matter of intention) pemerintah Tiongkok dalam menganggap kitasebagai negara sahabat. Padahal, pasca terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI untuk periode 2019-2024 lalu, melalui media pemerintah, Xinhua, Presiden China, Xi Jinping telah menyatakan jika China dan Indonesia adalah rekan yang alami karena keduanya sama-sama memiliki negara besar yang tengah berkembang dan kepentingan bersama di level bilateral, regional, dan multilateral. Namun, adanya manuver CCG untuk memunculkan pertanyaan, tuluskah ucapannya itu ?.

Dalam United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia dan China adalah party state (negara yang telah meratifikasi sekaligus harus tunduk dan patuh) terhadap konvensi hukum laut internasional itu. Namun alih-alih mau menghormati UNCLOS, sikap pemerintah China yang tidak segera menginstruksikan Kapal CCG menjauh dari perairan itu menimbulkan pertanyaan besar, mungkinkah mereka iseng untuk sekedar mengukur kemampuan militer Indonesia sekaligus ketengguhan diplomasi negara ini.

Sikap pemerintah China yang terkesan tengil justru menjadi sebuah ironi, saat inilah periode paling mesra hubungan antara Pemerintah Tiongkok dengan Pemerintah Indonesia, dalam berbagai bidang. Bahkan kedua negara sepakat membangun kerjasama ekonomi dalam bingkai proyek, Belt and Road Iniative.

Banyak proyek infrastruktur Indonesia yang dibiayai dengan pinjaman lunak dari pemerintah Tiongkok dengan syarat menggunakan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari negeri Tirai Bambu itu. Walaupun program ini dikecam oleh banyak kalangan di tanah air, pemerintah tetap jalan terus. Hingga saat ini setidaknya ada lebih dari dua puluh perjanjian kerja sama yang telah diteken oleh kedua negara.

Bila China memang benar-benar menganggap Indonesia sebagai mitra alami yang sejajar secara politik, seharusnya mereka menghormati kedaulatan pemerintah RI atas teritorialnya. Apalagi CCG telah terbukti terang-terangan memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diukur 200 Mil dari garis pantai Kepulauan Natuna. Setidaknya, bila mereka benar-benar menghormati Indonesia sebagai sahabat, CCG akan menginstruksikan para kapal nelayan itu untuk menjauh dari perairan itu, sekaligus mengirimkan red notice ke Pemerintah Indonesia untuk membahas perbedaan klaim itu.

Bukan justru sebaliknya, CCG tetap kekeuh berada di perairan itu, bahkan tetap menginstruksikan para kapal nelayan untuk mengeruk dan mencuri kekayaan alam dalam bentuk ikan sebanyak-banyaknya dari wilayah negara sahabatnya. Sebagai aparat pemerintah, para awak China Coast Guard (CCG) itu mustahil tidak mengetahui tentang konvensi hukum laut internasional. Jadi manuver CCG itu pasti atas sepengetahuan dan restu dari pemerintahnya.

Selain berdasarkan jarak 200 Mil dari garis pantai, ada beberapa aspek yang bisa digunakan untuk menentukan apakah wilayah yang disengketakan itu menjadi teritorial suatu negara. Misalnya dengan menggunakan aspek efectif occupation yakni jumlah penduduk yang mendiami wilayah itu. Berdasarkan data hingga tahun 2000 lalu setidaknya ada sekitar 80.904 jiwa warga Negara Indonesia yang menempati Kepulauan Natuna. Sementara menurut aspek sejarah masuknya

Kepulauan Natuna ke wilayah Provinsi Kepulauan Riau itu berdasarkan Undang - Undang No 53 tahun 1999. Maka berdasarkan berbagai aspek itu KepulauanNatuna adalah bagian dari wilayah Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat.

Dengan berbagai argumentasi itu Presiden Jokowi harus bertindak keras dengan berani menegur China secara diplomatik bila mereka benar-benar menganggap kita sebagai sahabat. Tidak ada alasan untuk mengajak mereka berkompromi, meski kita telah banyak menjalin kerjasama dengan mereka. Karena ini menyangkut kedaulatan negara. Bila Jokowi berani tegas, maka demi kepentingan ekonomi, mereka pasti mau menghormati Indonesia.

Sikap lembek yang diperlihatkan oleh sejumlah menteri dalam Kabinet Indonesia Maju hanya akan membuat negara ini ditertawakan oleh orang lain. Indonesia pasti akan dengan mudah didekte oleh negara lain terutama oleh negara-negara yang  telah memberikan kontribusi ekonomi secara signifikan ke Indonesia. Bila pertimbangan itu tetap digunakan maka kemandirian secara ekonomi maupun kemandirian secara politik hanya akan menjadi sebuah ilusi belaka.***
Opini Tak Mungkin Mencuri Milik Sahabat