a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Tak Perlu Pura-Pura Sejahtera

Tak Perlu Pura-Pura Sejahtera
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pro Legal News - Mungkin artikel ini terlalu baper dan emosional, tetapi inilah sebait fakta yang harus ditulis meski dengan kesedihan yang mendalam. Ada beberapa mahasiswa kelas karyawan, yang mengaku hang up (angkat tangan) untuk bisa melanjutkan kuliah alias terpaksa harus drop out, hanya karena tidak sanggup menanggung biaya. Padahal mereka adalah para bujangan yang bekerja dan berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas hidupnya. Artinya gaji mereka tidak harus dialokasikan untuk menghidupi keluarga, tetapi tetap tidak cukup. Bahkan diantara mereka ada yang  berstatus sebagai ASN.

Berdasarkan pengakuan mereka, gaji yang diperoleh  masih jauh dari layak. Untuk bertahan hidup sesuai dengan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) saja berat, apalagi harus menanggung biaya kuliah serta berbagai kegiatan ekstra, dapat dipastikan jika beban mereka semakin berat. Kehidupan para mahasiswa itu tak jauh berbeda dengan kehidupan para dosen maupun guru. Bahkan mendengarnya bisa membuat shock, latar belakang pendidikan yang tinggi para dosen dan guru ternyata tidak berbanding lurus dengan honor yang harus mereka peroleh. Gaji pokok serta uang SKS ternyata masih jauh dari memadai.

Apalagi mereka harus menanggung beban karena kebijakan pemerintah yang inflatoir, seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan kenaikan harga BBM yang menimbulkan  dampak kenaikan biaya transportasi. Itupun belum terhitung dari multiplier effeck dari kenaikan  tarif  itu terhadap harga-harga kebutuhan pokok. Dengan kondisi yang komplek itulah, masih beranikah kita mengklaim jika bangsa ini semakin sejahtera kehidupannya.    

Bila meningkatkan kualitas human resource (SDM) sebagai salah satu misi pemerintah  untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi kompetisi global, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Realitas itu juga menimbulkan pertanyaan bagaimana perlakuan pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan serta para tenaga pengajar. Apakah memang dibedakan antara kampus/sekolah negeri dengan kampus/sekolah swasta. Antara kampus/sekolah bergengsi dengan kampus/sekolah abal-abal. Karena hingga saat ini mereka terutama dari kampus/sekolah swasta tidak mendapatkan subsidi, sehingga banyak yang berguguran.

Bukankah mereka juga ingin berpartisipasi untuk menyiapkan generasi muda yang cerdas dan tangguh untuk menghadapi persaingan global. Kalaupun toh kualitas mereka terbilang pas-pasan, mereka juga merupakan anak bangsa yang berhak untuk mendapat perlakuan yang sama dari negara. Sekalipum mereka baru sebatas level pecundang, mereka masih perlu uluran tangan dari pemerintah. Tidak dilepaskan ke dalam mekanisme pasar di tengah kecenderungan liberalisasi dunia pendidikan.

Berbagai persoalan itu mengapungkan pertanyaan besar, bagaimana republik ini dikelola oleh para pemimpinnya. Negeri yang memiliki kekayaan alam yang paling melimpah di kolong jagat ini ternyata kehidupan rakyatnya  masih banyak yang ‘kleleran’. Negara yang memiliki alokasi anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN ini ternyata masih banyak murid/mahasiswa yang terancam drop out. Bangsa yang dijuluki oleh beberapa arkelolog seperti Robin Osborne sebagai Lost Paradise (surga  yang hilang) ini ternyata tidak mampu membiayai pendidikan rakyatnya dengan cukup.

Di sisi lain, masih banyak politisi atau para petinggi partai yang tertangkap oleh OTT KPK karena terindikasi terima suap dari proyek-proyek infrastruktur yang saat ini lagi digalakan. Ironisnya, yang tertangkap itu justru figur-figur yang selama ini sering mengatakan jika kehidupan sosial ekonomi kita semakin membaik. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar, apakah ungkapan itu jujur atau hanya sekedar basa-basi politik, sekaligus membodohi rakyatnya.

Sebenarnya kita tak perlu malu belajar dari tetangga yang kerap kita ‘marahi’ karena tingkah lakunya yang usil yakni Malaysia. Dengan kandungan kekayaan alam yang tidak sebanyak Indonesia, struktur ekonomi mereka jauh lebih baik. Mereka mampu menetapkan standar gaji para pekerja mereka dengan mata uang ringgit yang bila dikonversikan dalam rupiah bisa mencapai Rp 12 juta perbulan. Sehingga tak mengherankan bila banyak kuli kita yang eksodus ke  Malaysia demi memperoleh upah yang lebih baik.

Sementara berdasarkan situs MoneySmart.com ternyata biaya hidup mereka relatif tidak jauh berbeda dengan biaya hidup di Indonesia. Sehingga kualitas hidup mereka lebih baik dari kita, sekaligus bisa menyiapkan biaya pendidikan buat generasi mudanya. Hal itu tidak terlepas dari fungsi  dan peran lembaga pangan Bernas (semacam Bulog) yang mampu menjadi buffer stok (badan penyangga) sekaligus stabilisator harga-harga kebutuhan pokok. Fungsi itulah yang membuat harga pangan mereka relative terkontrol, hal itu berbanding terbalik dengan Bulog yang terjebak oleh liberalisasi serta tidak mampu menjadi stabilisator harga.***
Opini Tak Perlu Pura-Pura Sejahtera