a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Yang Muda, Yang (Masih) Memprihatinkan

Yang Muda, Yang (Masih) Memprihatinkan
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Salah satu proklamator Bangsa Indonesia, Ir Soekarno  saat berpidato pernah membuat ungkapan yang sangat bergelora, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,”. Kompatriot Soekarno yang merupakan pendiri Partai Murba, Tan Malaka juga pernah membuat ungkapan yang cukup terkenal, “Kemewahan terakhir yang dimiliki kaum muda adalah idealisme,”. Sementara filusuf Yunani yang juga ahli ilmu matematika, Phytagoras, pernah memberikan wejangan, “Jika kaum muda merasa lelah untuk belajar, maka dia akan menikmati pahitnya kebodohan,”.

Semua ungkapan filosofis itu mendiskripsikan jika masa muda adalah fase kehidupan yang berisi penuh gelora/semangat, optimisme, idealisme  sekaligus inovasi dan gagasan-gagasan  segar untuk mengisi kehidupan.  Secara khusus musisi Kurt Cobain memberikan tugas tambahan bagi kaum muda, “Tugas kaum muda itu adalah melawan korupsi,”. Ungkapan Bung Karno itu secara implisit memberikan pesan agar kaum muda diberi kesempatan untuk menerima estafet kepemimpinan  dalam melanjutkan masa depan bangsa. Kaum muda harus diberi kesempatan untuk belajar mengelola bangsanya dengan cara-cara yang revolusioner. Sehingga bangsa ini bisa dihargai dan disegani dalam kancah pergaulan internasional. Dan Soekarno telah membuktikan itu, selama masa kepemimpinannya Indonesia yang baru seumur jagung telah disegani dunia.

Maka ketika Jokowi kembali didapuk sebagai Presiden RI untuk periode yang kedua publikpun mahfum, ketika mantan Walikota Solo itu menyelipkan nama-nama anak muda dalam kabinetnya. Bahkan ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengangkat staff khusus dari kalangan milenial, publik sedikit memberikan apresiasi atas terobosoan itu meski dengan memberikan fasilitas gaji yang terbilang mewah. Jokowi pun dinilai mulai memberikan estafet kepemimpinan kepada sejumlah anak muda sebagai calon pemimpin-pemimpin masa depan. Seperti halnya yang pernah diungkapkan oleh Soekarno.

Tetapi alih-alih menjaga amanah itu serta berupaya untuk melawan korupsi seperti yang telah diamanahkan oleh Kur Cobain, sejumlah anak muda itu justru terperosok dan terperangkap dalam conflict of interest. Hingga saat ini belum ada satupun terobosan brilian yang dilakukan oleh mereka. Belum terlihat ada satu upaya mereka untuk mengangkat harkat bangsa dan negara, bahkan upaya untuk mengangkat mentalitas para pemuda kita untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi kejayaan bangsa ini.

Ironisnya mereka  justru terjebak dalam indikasi melakukan abuse of power (penyalah gunaan kewenangan) meski baru sebatas trading of influence (memperdagangkan pengaruh), yang muaranya adalah untuk memperoleh keuntungan materi dalam jangka pendek. Kasus yang menimpa BD dan AT membuktikan jika kebanggaan sebagai abdi negara bukanlah sebagai orientasi banyak kalangan anak muda. Tetapi mentalitas sebagai pengusaha jauh lebih menonjol dari pada  menjadikan jabatan bergengsi itu sebagai sarana untuk berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan negara.

Yang terkini adalah kasus yang menimpa Dik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mundurnya NU, Muhammadiyah dan PGRI dalam Program Organisasi Penggerak (POP) itu mengindikasikan minimnya transparansi dalam pengelolaan program itu.  Sekaligus tidak pahamnya Dik Menteri  terhadap sejarah panjang pengabdian Ormas-ormas itu terhadap dunia pendidikan. Kritikan dari berbagai kalangan terhadap Mendiknas itu  seakan menjadi konfirmasi atas tesisnya Phytagoras, kini mereka harus menelan pil pahit dari ketidak mauan mereka mempelajari sejarah itu. Lebih dari itu Dik Menteri belum bisa memberikan cetak biru (blue print) tentang sistem pendidikan nasional. Maka bila tidak segera dievalusai program itu justru memberikan karpet merah terhadap liberalisasi pendidikan nasional.

Berbagai fenomena itu bisa menjadi parameter jika  saat ini pendidikan, national character building (pembangunan karakter bangsa) berada di persimpangan jalan. Out put, dari pendidikan kita belum bisa menumbuhkan nasionalisme yang diejawantahkan dalam bentuk pengabdian terhadap kemajuan bangsa dan negara. Tetapi baru sebatas menghasilkan teknokrat-teknokrat yang berjiwa enterpreneurship yang semua berorientasi untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok yang sebesar-besarnya. Sekaligus kian membuktikan jika demokrasi yang muncul baru sebatas sebagai sarana menuju pusat kekuasaan (struggle of power) untuk mengerumuni  pusat kekuasaan yang oligarkis.

Maka munculnya berbagai kasus itu bisa dijadikan momentum bagi para stake holder untuk merumuskan ulang sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan yang tidak hanya bisa menghasilkan generasi muda yang menguasai Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) semata, tetapi bagaimana bisa menciptakan sistem pendidikan yang menghasilkan generasi muda yang mengusai Imtaq (iman dan taqwa) sekaligus memiliki jiwa nasionalis sehingga mau mengabdi dan berbakti terhadap bangsa dan negara.***
Opini Yang Muda, Yang (Masih) Memprihatinkan