Doktrin militer Kerajaan Yunani yang terkenal, 'si vis pacem, para bellum',(kalau menghendaki damai, siaplah untuk perang), mungkin menjadi ‘mantra’ yang paling aktual saat ini. Terutama dalam menyikapi kondisi geo politik yang penuh dengan ketegangan serta persaingan terselubung, antara Amerika-Rusia/Suriah, Amerika-China, Amerika-Korea Utara, Amerika-Iran, Amerika-Turki, China- versus negara-negara Asean. Maka keputusan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Andika Perkasa untuk menggelar latihan bersama dengan US Army yang diberi tajuk ‘Garuda Shield’ ke I5 Tahun 2021’ adalah bentuk diplomasi militer yang cerdas untuk mengejawantahkan doktrin militer dari Yunani itu.
Latihan Bersama (Latma) militer kolosal yang dibuka oleh KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa bersama Commanding General USARPAC Jenderal Charles A. Flynn, Selatan. Rabu, (4/8) itu melibatkan 2.161 personil TNI dan 1.574 personil US Army di tiga tempat berbeda yakni Puslatpur Kodiklatad di Baturaja, Daerah Latihan Amborawang di Balikpapan dan Makalisung di Manado. Dengan latihan meliputi Staff Exercise, Field Training Exercise (FTX), Live Fire Exercise (LFX), Aviation and Medical Exercise (Medex) serta dua program latihan yang akan digabungkan, yaitu Joint Combined Exchange Training (JCET) dan Garuda Airborne.
Selain untuk meningkatkan kemampuan personil TNI, Latma militer terbesar dalam sejarah ini memiliki banyak makna. Setidaknya kemampuan TNI akan semakin diperhitungkan dunia, karena sudah menjadi pengetahuan publik di luar faktor jumlah personil militer serta kecanggihan Alutsista yang masih kalah dengan beberapa negara besar seperti, Amerika, Rusia, China dan India kemampuan individu personil TNI disebut-sebut sebagai sebagai salah satu militer elit dunia seperti yang pernah diakui oleh beberapa perwira tinggi legendaris seperti Jenderal (Purn) Mike Jackson (pemimpin pasukan Inggris saat menyerbu Irak), Jenderal (Purn) Tommy Franks (pemimpin Delta Forces saat Operasi Badai Gurun), Jenderal (Purn) Peter Pace (mantan Jenderal US Marine dan Kepala Staf Gabungan US) serta Mahasiswa dari Universitas Dallas, dalam acara talk show di TV ABC 13, Texas yang bekerjasama dengan Universitas, Dallas, Texas tahun 2015 lalu, kini menjadi terkonfirmasi dengan maunya US Army mengelar latihan bersama secara besar-besaran. Padahal Indonesia adalah negara yang masuk kategori non coalition of willing atau negara negara yang bukan anggota koalisi militer dengan Amerika. Tetapi adanya latihan itu merupakan bentuk ejawantah dari politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Pesan kedua yang hendak disampaikan adalah buat negara-negara yang selama ini kerap bersikap tengil seperti China, Australia, Malaysia dan Singapura menjadi warning agar mereka lebih berhati-hati dalam bersikap dengan Indonesia. Dan pesan kedua ini terbukti mendapat respon dari China yang sempat bersitegang dengan Indonesia terkait kepemilikan Kepulauan Natuna dengan dalih masih dalam rangkaian nine dush line (sembilan garis putus) yang ada di jaman kalabendhu. Tidak tanggung-tanggung Tiongkok langsung menggelar Latma yang lebih kolosal bersama dengan Rusia yang melibatkan sekitar 10.000 personil di daerah otonomi Ningxia Hui, Cina Utara pertengahan Agustus 2021.
Meski Latma antara TNI dan US Army itu terjadi tidak terlepas karena adanya kedekatan emosional antara Andika dan Amerika, karena Andika adalah salah satu lulusan dari beberapa perguruan tinggi ternama di Amerika seperti The Militery College of Vermont, Norwich University, dan Harvard University serta memperoleh beberapa gelar kehormatan seperti The Legion of Merit Degree of Chief Commander dari Amerika, tetapi gaya diplomasi militer Andika yang terkesan zig zag itu mengingatkan kita pada gaya diplomasi Soekarno yang flamboyan. Dalam upaya untuk memperoleh dukungan persenjataan dari Rusia tahun pada 1960.
Saat itu, Presiden Nikita Kruschev mengamini saja kemauan Soekarno untuk memborong Alutsita meski dengan cara ngutang. Manuver Soekarno itu dilakukan setelah D Eisenhower maupun penggantinya, John F Kennedy menanggapi dingin permintaan Soekarno yang membutuhkan persenjataan untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Pola yang mirip juga telah dijalankan oleh pemerintah saat ini, setelah Indonesia membeli 11 pesawat Sukhoi (SU 35) tahun 2017 lalu senilai US $ 1,14 milliar atau senilai Rp 16 trilliun, Washington menjadi ‘blingsatan’ dengan mau membuka embargo senjata ke RI.
Sehingga Paman Sam akhirnya mau membuka diri untuk pengadaan pembelian 24 unit jet tempur F-16V buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat (AS). Selain pesawat tempur, pembelian Alutsista itu untuk pengadaan dua kapal jenis fregat dengan tipe Sigma 10514, yang dapat dipastikan memerlukan anggaran yang sangat besar. Seperti diketahui, pasca peristiwa Santa Cruz di Dilli, Indonesia sempat diembargo oleh Amerika. Dan hal itu sempat kukonfirmasi dan diiyakan oleh Juru Bicara Gedung Putih, saat itu Nikolas Burn.
Menurut saya Latma ini sudah cukup untuk memberikan sinyal kepada negara manapun, jika kekuatan militer Indonesia saat ini bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi kelompok–kelompok atau blok-blok militer di dunia, tanpa kita harus menjadi anggota koalisi militer blok tertentu. Dan saya juga kurang sependapat jika Latma ini harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah strategis lainnya misalnya dengan masuk blok tertentu atau menawarkan diri menjadi pangkalan militer asing seperti Amerika. Karena akan lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat secara ekonomi.
Kita harus belajar dari pengalaman buruk masyarakat Futunema dan Okinawa Jepang yang menolak keras keberadaan pangkalan militer AS karena menimbulkan gejolak sosial yang besar. Hal yang serupa juga terjadi di Subic Philipina yang menimbulkan gejolak sehingga menimbulkan kecaman dari Senator Tomas Confesor. Padahal alasan pemberian izin pangkalan militer di Subic itu juga tidak terlepas dari kepentingan Philpina dalam menghadapi konflik dengan Tiongkok di Laut China Selatan. Pangkalan militer AS di Erbil Irak serta pangkalan udara Al Assad ternyata juga tidak memberikan manfaat yang signifikan, justru Irak terancam dalam perang saudara. Begitu juga halnya pangkalan militer AS di Afghanistan juga tidak mampu menghadirkan stabilitas. Bahkan kehadiran pangkalan militer di Arab Saudi justru menimbulkan dekadensi moral bagi masyarakat setempat.
Sebaliknya, langkah cerdas Andika itu juga harus segera ditunjang oleh soft diplomatic pemerintah untuk menjelaskan posisi Indonesia sesuai dengan politik luar negeri bebas dan aktiv yang kita anut. Terutama kepada negara-negara yang selama ini bersahabat baik dengan Indonesia tetapi tidak akur dengan Amerika, seperti Rusia, Iran, Korea Utara bahkan dengan China. Karena bila tidak segera ditindaklanjuti oleh pemerintah justru akan melahirkan spekulasi-spekulasi liar yang merugikan, misalnya Indonesia dituduh menjadi mitra staregis baru Amerika.
Kita harus belajar dari sejarah, peristiwa G 3 S PKI yang terjadi karena adanya kecemburuan politik Amerika terhadap Indonesia yang saat itu suka ‘bermesraan’ dengan China dan Rusia sehingga muncul poros Jakarta-Peking. Dan hingga saat ini masih banyak hipotesa yang mengatakan jika CIA berada dibalik peristiwa G 30 S PKI dengan memperalat Gillchrist. Respon China dengan menggelar Latma bersama Rusia itu merupakan sinyal jika mereka tidak happy dengan Indonesia. Apalagi bila kita cermati, kemungkinan China melakukan agresi militer itu relative kecil pasca Jokowi telah memberikan warning diatas kapal. Sehingga China mundur beberapa langkah.
Bahaya dari China yang sesungguhnya bukan kekuatan militernya, tetapi agresi ekonominya melalui program Belt And Road Iniativ yang merupakan bentuk kolinialisme baru, dengan cara memberikan pinjaman investasi kepada negara-negara miskin, dengan syarat uang, tenaga serta teknologi dari mereka. Apabila tidak sanggup membayar hutang akan mereka ‘aneksasi’. Sejumlah negara Afrika kini terancam ‘serangan’ itu termasuk Timor Leste. Ancaman itulah yang kini seharusnya diantisipasi oleh Indonesia, sehubungan dengan banyaknya proyek yang melibatkan investor dari China.
Terlepas dari kalkulasi ekonomi serta politik yang harus dihitung dengan cermat, manuver TNI itu menunjukan jika Andika Perkasa adalah sosok petinggi militer yang cerdas dalam memanfaatkan momentum untuk mengangkat harkat dan martabat TNI di mata dunia. Langkah Andika itu termasuk dengan tindakannya mengungkap dugaan korupsi anggaran pendidikan di tubuh intitusinya memperlihatkan jika Andika adalah sosok visioner yang ingin membentuk militer yang tangguh, profesional sekaligus bersih. Sosok seperti inilahnya yang sesungguhnya dibutuhkan TNI saat ini.
Maka tidaklah berlebihan seandainya Andika Perkasa diberikan ‘karpet merah’ untuk memimpin TNI sebagai Panglima TNI sehubungan dengan Hadi Tjahjanto akan memasuki era purna tugas. Tetapi suksesi itu kini terkendala dengan aturan gantian antara matra TNI baik TNI AD, TNI AU maupun TNI AL. Dan kemungkinan periode yang akan datang ini adalah giliran TNI AL. Maka menurut hemat saya cara yang paling elegan untuk memperoleh putra terbaik yang akan mimpin TNI adalah dengan cara melakukan mekanisme fit and proper test, dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua matra TNI. Hasil uji kelayakan yang dilakukan oleh DPR itu nantinya diserahkan ke presiden untuk memilih sesuai dengan hak prerogatifnya. Dan semua pihak harus bisa legowo demi kepentingan bangsa dan negara dengan cara menerima siapapun yang terpilih sebagai Panglima TNI. Sehingga tidak menimbulkan kesan jika proses pemilihan Panglima TNI itu tak ubahnya seperti arisan.***