Putusan pidana atas Penangki dalam kasus suap atas fatwa bebas dari MA, berupa pengurangan pidana penjara yang semula 10 tahun dan denda Rp. 600 juta diputus oleh PN, berubah dalam putusan banding di PT menjadi 4 tahun dan denda Rp 500 juta. Putusan ini menimbulkan berbagai pendapat dalam masyarakat, disebabkan adanya perbedaan yang menyolok antara putusan PN dengan putusan banding, padahal Hakim PN dan PT adalah sesama yudex factie yang berwenang mencari dan menemukan fakta-fakta hukum dan membandingkannya dengan alat bukti dalam persidangan.
Ternyata dalam kasus ini, yudex factie menemukan fakta hukum yang sama oleh Hakim PN maupun oleh Hakim PT, yaitu Terdakwa Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana yaitu kesatu melanggar Pasal 5 atau pasal 11 UU No.31 tahun 1999 ancaman pidana maksimum 5 tahun penjara. Kedua melanggar pasal 3 UU No.8 tahun 2010 tentang Pencucian Uang, ancaman pidana 20 tahun penjara. Ketiga melanggar pasal 15 jo pasal 5 tentang Permufakatan jahat untuk suap. Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan sebagiamana didakwakan, dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 500 juta. Tuntutan ini jelas terlalu ringan jika dibanding dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
Dalam prakteknya tuntutan jaksa adalah dua pertiga dari ancaman pidana dari tindak pidana yang dilakukan, dalam kasus ini kumulatifnya adalah 30 tahun, maka tuntutan 2/3 adalah 20 tahun. Dan hakim memutus lebih dari setengah tuntutan jaksa yaitu 11 tahun atau lebih, Hakim PN memutus pidana pada terdakwa selama 10 tahun, jadi sudah sesuai dengan apa yang terjadi selama ini dalam praktek peradilan. Jadi tidak ada yang salah dengan putusan PN tersebut.
Dari uraian diatas, tampak tidak ada perbedaan antara pasal yang didakwakan oleh jaksa pada terdakwa dan putusan hakim yang menyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan. Perbedaannya adalah bahwa Hakim PN memutus bhwa 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, lebih berat dari dakwaan dan tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa selama 4 tahun penjara. Mengapa Jaksa hanya menuntut 4 tahun, tidak ada yang bisa menjelaskan selain jaksa penuntut sendiri dan kita hanya mempercayai saja, bahwa Kejaksaan sebagai lembaga Dominus litis dalam penuntutan sudah melaksanakan perannya dengan benar.
Ada yang berpendapat bahwa putusan hakim sudah melebihi wewenangnya karena maksimal ancaman pidana pasal 5 UU Tipikor adalah 5 tahun. Tentu Hakim sudah menyadari hal tersebut, sehingga dalam pertimbangannya menyatakan tuntutan jaksa terlalu rendah, dan terdakwa sebagai aparat penegak hukum, jaksa penunut umum, semestinya ikut memberantas korupsi, bukan sebagai pelaku korupsi dan memberikan keterangan berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya (hal-hal yang memberatkan ).
Apakah betul bahwa Hakim PN sudah melebihi kewenangannya atas penjatuhan pidana penjara 10 tahun. Tentu tidak. Karena perbuatan yang dilakukan terdakwa terdiri dari tiga tindak pidana, perbuatan yang berdiri sendiri sehingga seluruh (ketiga) tindak pidana tersebut harus dibuktikan dan dihukum, dalam kasus ini tidak disiplit disatukan dalam satu dakwaan, apalagi tindak pidana pencucian uang pasal 3 diancam dengan pidana penjara maksimum 20 tahun. Sehingga jika ditotal seluruh ancaman pidana dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa bisa mencapai 30 tahun.
Dalam kasus ini tidak berlaku concursus realis yaitu satu ancaman pidana terberat ditambah sepertiga. Khusus antara tindak pidana ke satu dan ketiga dapat digabung sebagai concursus realis yaitu adanya dua tindak pidana berbeda yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan, tapi khusus untuk tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana berbeda dan dilakukan dalam waktu yang berbeda jadi tindak pidananya berdiri sendiri.
Karenanya saya berpendapat putusan PN sudah mengakomodir adanya pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana pencucian uang oleh terdakwa dalam putusan pidana penjara 10 tahun tersebut. Kita masih ingat putusan pidana penjara pada Gayus yang melebihi 20 tahun penjara atas beberapa tindak pidana yang dilakukannya dimana tindak tindak pidana tersebut berbeda dan dilakukan dalam waktu berbeda. Tapi oleh pengamat menilai putusan atas Gayus tersebut, sudah melebihi maksimal pidana penjara 20 tahun yang ditetapkan oleh undang-undang. Tapi dalam upaya hukum berikutnya justru dikuatkan oleh pengadilan pada tingkat banding.
Kembali ke laptop. Jika yang terjadi adalah perbedaan antara tuntutan jaksa penuntut dengan putusan hakim adalah hal yang wajar, dan lumrah, dimana masyarakat tetap mempercayai dan mengharapkan peran pengadilan sebagai benteng terakhir dari pencarian keadilan, melalui putusan hakim yang adil. Misalnya dalam kasus Narkotika, bisa saja terdakwa Narkotika didakwa dan dituntut melanggar pasal 114 sebagai pengedar diancam 20 tahun penjara, subsider melanggar pasal 112 memiliki Narkotika diancam 12 tahun.
Tapi berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, hakim memutus terdakwa tidak bersalah melanggar pasal 114 sebagai pengedar, maupun pasal 112 sebagai menguasai Narkotika, tetapi bersalah melanggar pasal 127 sebagai pengguna Narkotika diancam dengan penjara 2 tahun dan rehablitasi. Putusan Hakim tersebut berbeda dan menyimpang dari dakwaan dan tuntutan jaksa. Masyarakat menilai putusan hakim ini sangat bagus dan sudah sesuai dengan keadilan masyarakat.
Perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan jaksa adalah sah-sah saja dalam menemukan keadilan dan kebenaran materil, yang bebas dan merdeka tidak berada dibawah pengaruh lembaga apapun. Menjadi persoalan adalah jika terjadi disparitas atau perbedaan putusan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim PN dan Hakim PT, dimana kedudukan hakim tersebut sama-sama sebagai yudex factie, sebagai pencari dan penilai fakta hukum, dan dalam kasus ini mempunyai pandangan yang sama tentang fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan. Hanya berbeda dalam pertimbangan atas hal-hal yang memberatkan dan meringankan.
Menurut Hakim PN hal-hal yang memberatkan lebih berpengaruh dalam memberatkan putusan pidana yang dijatuhkan yaitu terdakwa sebagai penegak hukum, terdakwa berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya, sehingga menjatuhkan pidana penjara 10 tahun. Sedangkan pertimbangan Hakim PT, lebih dipengaruhi oleh hal-hal meringankan yaitu terdakwa seorang wanita yang harus dilindungi, mempunyai tanggungan anak yang masih kecil yang membutuhkan keberadaan terdakwa dan masih muda masih dapat dibina, sehingga menjatuhkan pidana penjara 4 tahun. Dalam mempertimbangkan hal-hal meringankan tersebut, apakah dibenarkan oleh moral hukum pengurangan hingga lebih setengah dari putusan Hakim PN.
Jika yang mengurangi pidana tersebut dilakukan oleh yudex yuris atau Hakim Agung karena salah atau keliru dalan penerapan hukumnya adalah wajar, sesuai dengan fungsinya menilai penerapan hukum oleh yudex factie. Seperti dalam kasus suap terdakwa Angelina Sondakh yang diputus oleh PN dan PT 4,5 tahun penjara tapi dalam putusan kasasi dirubah oleh MA dengan Hakim Artijo Alkoster menjadi 12 tahun, padahal terdakwa waktu itu sebagai orang tua tunggal mempunyai anak yang masih kecil yang membutuhkan kehadirannya dan masih tergolong usia muda, oleh hakim kasasi tidak menjadikannya sebagai hal yang meringankan tapi justru memperberat pidana menjadi 12 tahun.
Pada putusan pidana terhadap Terdakwa Pinangki, apakah putusan ini sudah sesuai dengan keadilan, kita akan melihat reaksi masyarakat, yang pasti kita harus menghormati putusan Hakim PT tersebut. Jika ada pendapat yang menyatakan putusan hakim tersebut tidak sesuai dengan keadilan masyarakat, maka semestinya JPU harus mengajukan kasasi untuk menegakkan keadilan. Sebaliknya jika dianggap putusan Hakim PT tersebut sudah sesuai dengan keadilan, berarti JPU tidak mengajukan kasasi dan putusan menjadi inkraght berkekuatan hukum.
Menurut saya, karena putusan pidana oleh Hakim PT, sama beratnya dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa 4 tahun penjara, maka tidak ada dasarnya Jaksa mengajukan keberatan dengan mengajukan Kasasi, terhadap putusan Hakim PT tersebut. Walaupun pengajuan kasasi ini diharapkan oleh masyarakat seperti ICW agar yudex yuris dapat menerapkan hukum sesuai dengan keadilan masayarakat. Tapi dapat dipastikan tidak ada lagi kasasi atas putusan Hakim PT tersebut yang dijatuhkan pada terdakwa Pinangki karena putusan PT tersebut sudah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut.
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistim negara Kontinental, dengan civil law, tidak menganut asas presedent seperti common law, dimana putusan hakim terdahulu wajib diikuti oleh hakim berikutnya dalam mengadili perkara yang sama, dalam sistem ini dapat dikatakan jarang terjadi disparitas perbedaan antara putusan hakim dalam mengadili perkara yang sama. Tapi di Indonesia menjadikan putusan hakim terdahulu sebagai yurisprudensi tidak wajib diikuti, sehingga memungkinkan putusan hakim berbeda dengan putusan sebelumnya sekalipun perkaranya adalah sama.
Hal ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan pada pengadilan/hakim memutus berdasarkan alat bukti dan keyakinannya yang sesuai dengan nilai2 hukum dan moral yang hidup dalam masyarakat tidak dapat di intervensi oleh siapapun. Karenanya MA hanya dapat membuat pedoman (bukan untuk intervensi) dalam bentuk Perma untuk meminimalkan terjadinya disparitas dalam putusan hakim ini.
Terdapat beberapa faktor yang membuat timbulnya disparitas ini, sehingga membuat Hakim membuat suatu Diskresi atau kebijakan yang tidak diatur dalam undang-undang, yaitu sbb.
1. Faktor internal, adanya paham atau pandangan yang berbeda yang dianut oleh hakim, seperti penganut aliran klasik tentang tujuan pemidanaan akan menjatuhkan pidana yang terberat, baginya pidana selain untuk menakut-nakuti juga sebagai pembalasan karena melihat yang terjadi pada kejahatan itu sendiri. Berbeda dengan hakim penganut aliran modern akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan, baginya pembinaan sebagai hal yang diutamakan karena tidak semata-mata melihat kejahatan yang terjadi tetapi juga memperhatikan pelaku kejahatan itu sendiri.
2.Faktor sistem Hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Bagi negara kontinental yang mengutamakan civil law, seperi Indonesia lebih terbuka untuk terjadi Disparitas, lebih mendorong Hakim untuk membuat putusan hakim yang berbeda sesuai dengan keyakinannya. Tapi bagi negara Anglosaxon dengan common law lebih tertutup untuk timbulnya disparitas putusan hakim, karena mereka menganut sistem preseden dimana putusan hakim terdahulu wajib diikuti oleh hakim berikutnya dalam memeriksa perkara yang sama.
3.Faktor eksternal yaitu Undang-Undang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kalanya suatu rumusan tindak pidana tidak jelas, yang disebut pasal karet. Pada hal suatu tindak pidana tidak hanya dirumuskan secara tertulis (Lex Scripta), tetapi juga harus tegas batas-batasnyanya (Lex Stricta ) dan harus jelas maksud nya agar tidak timbul tafsir ganda ( Lex Certa ). Dalam UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2002 tentang Tipikor, terdapat beberapa pasal yang tidak tegas seperti pasal 2 minimum 4 tahun penjara, dan pasal 3 minimum 1 tahun sementara kedua normanya adalah sama, tapi pembuatnya berbeda, pasal 2 bisa berlaku bagi siapa saja sedangkan pasal 3 berlaku bagi penyelenggara negara, tapi hukumannya berbeda.
A sebagai penyelenggara negara melanggar pasal 2, karena korupsi melalui perbuatan melawan hukum, dipidana 4 tahun dan B sebagai penyelenggara negara melanggar pasal 3, karena korupsi melalui Penyalahgunaan wewenang dipidana 1 tahun. Pertanyaan, bukankah penyalah gunanaan wewenang adalah Perbuatan melawan hukum ? Kenapa terhadap perbuatan yang sama dipidana dengan pidana penjara yang berbeda. Maka supaya tidak terjadi disparitas pidana ini saran saya adalah digabung saja norma dan ancaman pidana pasal 2 dan 3, menjadi pasal perbuatan melawan hukum/Wederrechttelijk.