Akhir Maret 2021 lalu, publik dikejutkan dengan serangkaian aksi teror yakni aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar (29/3) yang dilakukan oleh Lukman dan istrinya berinisial YSF serta penyerangan terhadap Mabes Polri, (31/3) yang dilakukan oleh Zakiah Aini. Pasca peristiwa itu, dengan sigap aparat kepolisian segera melakukan sejumlah aksi penangkapan terhadap jaringan kelompok ini yang menjadi anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terindikasi terafiliasi dengan Organisasi The Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Dibalik kedua aksi teror itu muncul fenomena yang sangat menyedihkan, para pelaku berasal dari kalangan milenial yang berusia 20-an tahun. Sehingga dalam sebuah Webinar yang mengangkat tema “Peran Pemuda Dalam Menangkal Terorisme’ yang dihadiri oleh Deputi VII BIN Wawan Purwanto, SH, MH serta Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas, Humas Mabes Polri serta Rektor UBK, DR. Didik Suharyanto, SH, MH, Warek III UBK,Rinaldy Agusta, SH,MH, CLA serta Dekan Fakultas Hukum UBK, DR Puguh Aji Setiawan SH, MH saya sempat mempertanyakan efektifitas dari proses deradikalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah. Meski saya tetap percaya jika pemerintah telah melakukan banyak hal.
Terorisme yang berhulu dari radikalisme muncul karena berbagai faktor diantaranya adalah kemiskinan dan kebodohan yang melahirkan keputus asaan para pelaku yang dikonversikan dengan melakukan ‘crash program’ untuk mencapai kebahagiaan dan kemuliaan hidup dirinya dan keluarganya secara instan dengan melakukan amaliah sebagai jalan yang dinilai sebagai mardothilah (cara syahid yang diridhoi Tuhan). Faktor yang tak kalah penting adalah faktor ideologi yang menganggap jika konsep khilafah adalah konsep yang final sebagai sarana untuk mencapai sebuah negeri yang baldhatun warrobun ghofur, sementara pemerintahan yang ada dianggap sebagai thogut yang pantas untuk dilawan.
Amaliah yang dilandasi oleh faktor idelogi inilah yang kini banyak dilakukan oleh para ‘pengantin’ yang notabene adalah kalangan milenial yang sempat mengenyam pendidikan hingga bangku perkuliahan. Fenomena inilah yang patut kita waspadai dan memerlukan treatment khusus untuk melawannya. Maka menurut hemat saya cakupan proses deradikalisasi tidak hanya terhadap mantan terpidana kasus terorisme, tetapi juga kelompok-kelompok yang rentan terpapar radikalisme.
Karena bila kita observasi terhadap fenomena radikalisme dan terorisme itu tak ubahnya seperti fenomena gunung es. Tak banyak calon ‘pengantin’ yang mau melakukan amaliah, tetapi supporting system yang masuk kategori slepping agent (agen tidur), yang terdiri orang yang diam-diam mau membantu atau minimal mendiamkan akan adanya aksi teror dipastikan akan sangat banyak. Beleid membubarkan Ormas-Ormas yang terindikasi mengusung kekerasan dan radikalisme itu tidak akan pernah efektif selama pemahaman dan mindset mereka tentang konsep ubudiyah, muamalah serta khilafah berdasarkan versi mereka tidak dirubah. Kelompok-kelompok itu hanya perlu bermetamorfosa dan bermutasi menjadi kelompok-kelompok baru. Karena semua itu berhulu dari tafsir dari sumber yang salah.
Dan satu hal yang harus dipahami dalam berbagai agama yang ada itu memiliki banyak aliran yang berhulu dari perbedaan tafsir keagamaan. Sementara pasca reformasi terjadi liberalisasi politik yang memiliki ruang munculnya politik aliran. Membubarkan mereka tanpa alasan yang jelas hanya akan melahirkan tuduhan bila kita melanggar HAM dan anti demokrasi. Sementara aparat juga tidak mungkin melakukan upaya represif selama belum memiliki cukup bukti untuk menindak secara hukum.
Maka disinilah pentingnya upaya yang fundamental untuk membuat ‘vaksin ideologi’ guna melawan penyebaran virus radikalisme dan terorisme. Dan kita membutuhkan grand design yang harus dilakukan secara kolektif tidak hanya berbagai intansi terkait tetapi harus lintas agama, lintas departemen dan lintas lembaga termasuk Ormas-Ormas keagamaan. Karena munculnya para ‘pengantin; itu sedikit banyak merupakan wujud kekecewaan mereka terhadap para elit-elit agama yang terlalu sibuk dan berorientasi terhadap kekuasaan. Sehingga lupa dengan tugas utamanya untuk membimbing umatnya masing-masing.
Vaksin idelogi itu diantaranya adalah berupa antitesa dari paham-paham yang dikembangkan oleh kelompok radikal itu. Sementara kalangan milenial cenderung belum memiliki pengetahuan yang kaffah (menyeluruh) tentang agama terutama kaum radikalis yang beragama Islam. Pemahaman agama yang parsial (sepotong-sepotong) itu bisa dilihat dari apa pandangan mereka tentang jihad yang mereka pandang adalah kewajiban mereka untuk melawan kelompok kafir.
Padahal jihad sendiri bersifat kontekstual karena berasal dari frase mujahadal (optimalisasi amal sholeh). Maka bila kita memahami Islam secara kaffah, kita bisa menilai orang meninggal kecelakaan saat sedang mencari nafkah buat keluarga juga bisa masuk kategori jihad. Begitu juga halnya cara memahami terminology kafir, yang sesungguhnya sangat luas. Sesuai dengan Perjanjian Yastrib (Piagam Madinah), kafir yang bias diperangi adalah kafir yang masuk kategori kafir Harbi (orang kafir dan menrang Islam ) yang layak diperangi dalam konteks untuk membela diri.
Terminologi kafir sendiri berasal dari frasa kuffur (mengingkari), orang yang berputus asa dan mengingkari nikamt Tuhan-pun juga bisa masuk kategori kafir seperti dalam QS Al Baqqoroh 152 serta QS Yusuf 87. Jadi bila memahami itu, untuk bisa masuk surga dan bertemu bidadari tidak harus menjadi ‘pengantin’ yang melakukan amaliah dengan melakukan bom bunuh diri. Tetapi cukup melakukan kegiatan sehari-hari dengan niatan untuk keluarga bias masuk kategori jihad dan bila mati Insya Allah bisa syahid.
Dengan vaksin ideologi itu selain bisa menciptakan immunitas terhadap kemungkinan terpapar virus radikalisme, bisa juga dimasukan ‘serum’ tentang nilai-nilai Islam yang humanis dan religius sesuai dengan sifatnya sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Dan yang paling penting adalah upaya untuk meningkatkan wawasan kebangsaan mereka sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Selain perlunya memperluas khasanah keilmuan yang bisa menambah cakrawala berpikir, perlu juga ditingkatkan budaya literasi dengan bahan bacaan berbagai disiplin ilmu sehingga tidak terjadi kejumudan berpikir.
Bagaimana mekanisme yang efektif untuk memberikan vaksin ideologi, setelah dilakukan profiling oleh lembaga intelijen negara, maka berdasarkan informasi dari lembaga itu tentang kelompok-kelompok yang rawan terpapar radikalisme itu, pemerintah harus bekerja sama dengan Ormas-Ormas keagamaan agar diberikan treatment dalam bentuk kajian agama secara bersama dengan mereka atau merekomendasikan kepada Ormas keagamaan untuk menghadirkan ahli agama yang bisa memberikan tausiyah sebagai antitesa dari pemahaman mereka yang radikal. Dengan harapan menumbuhkan kesadaran jika paham yang mereka yakini selama ini salah dan berpotensi menjerumuskan mereka untuk bertindak yang sia-sia.***