a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Isu HAM Yang Menjadi  Dagangan Musiman

Isu HAM Yang Menjadi  Dagangan Musiman
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Bangsa ini memiliki tabiat yang unik, saat menjelang hajatan politik baik Pilpres maupun Pilkada, isu HAM pasti menjadi komoditas politik yang laku keras. Banyak pihak yang secara tiba-tiba menjadi aktivis HAM dan menghujat keras terhadap pihak-pihak yang pernah kecipratan noda sejarah seperti  seorang pesakitan. Minimal harus diusut ulang dengan pengertian tidak layak untuk dipilih. Setiap isu pelanggaran HAM senantiasa diwariskan ke calon yang terpilih.  

Ironisnya, ketika hajatan politik itu usai, isu  HAM itu seketika lenyap ditelan waktu. Kepedulian itu langsung berubah menjadi apatisme. Bahkan ketika sosok yang pernah dituduh terlibat pelanggaran HAM  di masa lalu itu ikut gerbong koalisi, para aktivis dadakan itu lebih memilih bungkam. Tabiat aneh itu terus terulang dari waktu ke waktu. Pemerintahan yang terpilihpun, tidak pernah memiliki blue print (cetak biru) yang jelas untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu itu secara tuntas.

Disaat kondisi normal, isu HAM tidak lagi menjadi isu yang populer dan menarik bahkan cenderung diabaikan. Padahal kita telah meratifikasi Declaration Universal of Human Rigts (DUHAM) tahun 1948 menjadi UU No 39 tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), namun hingga saat ini, belum ada upaya  yang serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebagai bagian dari implementasi norma-norma hukum tersebut.

Sehingga kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut dibiarkan ‘menggantung’ dan akan muncul lagi nanti disaat akan ada hajatan politik. Padahal pemerintah ini telah menyadari jika isu HAM merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan sustainable development goals (SDGs) seperti yang tertuang dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. Dan pemerintah telah meratifikasi dokumen itu dalam bentuk, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Berdasarkan Perpres tersebut terutama  dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa,TPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat menjadi stressing (tujuan) utama, tetapi tidak bisa meninggalkan upaya peningkatan kehidupan sosial masyarakat dalam aspek yang lain dan ini memiliki cakupan yang sangat luas.

Berdasarkan pengertian itulah maka upaya peningkatan kehidupan sosial itu juga tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk menciptakan keadilan melalui berbagai langkah penegakan hukum serta menegakan HAM sesuai dengan konvensi HAM internasional. Sayang hingga saat ini pemerintah  terkesan masih bingung harus memulai dari mana, terbukti banyak kasus-kasus HAM warisan masa lalu yang belum ditangani secara tuntas, misalnya kasus 65, Tanjung Priok, Talangsari, Aceh, Papua dan lain lain yang banyak diwariskan oleh rezim Orde Baru.

Sebenarnya, ada beberapa role models yang bisa dicontoh oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM secara tuntas dan tidak hanya dijadikan amunisi politik para pihak ketika berkompetisi, baik dalam ajang Pilpres, maupun Pilkada. Sebutlah misalnya  seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan pasca terjadinya tragedi 18 Mei 1980 di Gwangju,  yang lebih dikenal sebagai Gwangju Democratic Uprising. Tragedi Gwangju adalah tragedi pembantaian masyarakat sipil yang dilakukan oleh militer dan menelan korban jiwa setidaknya 200 orang terbunuh.

Atas peristiwa tersebut, sekitar 30 juta masyarakat Korea Selatan turun ke jalan dan memaksa Presiden Korea Chuun Dow Hwan, untuk turun dan diadili. Dan akhirnya Chuun Dow Hwan, lengser sekaligus diadili dengan vonis seumur hidup. Sementara para kroninya diminta untuk membuat pengakuan bersalah, dan akhirnya diberikan pengampunan. Seiring dengan upaya hukum, hak-hak ekonomi masyarakat Korea diberikan secara memadai.

Dengan berbagai upaya itu kini Korea Selatan menjelma sebagai negara demokrasi yang maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, bila dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan itu. Tetapi cara ini relatif berat, karena menuntut para pihak untuk bersikap ksatria untuk mengakui kejahatannya, dan motivasi yang dilakukannya serta tidak menyalahkan pihak lain. Gerakan ini menggunakan icon dalam bentuk tangan memegang telur, yang secara filosofis menjadi symbol agar para pelaku sejarah itu memikirkan masa depan bangsanya.    

Atau kita juga bisa mencontek cara yang dilakukan oleh Pemerintah Afrika Selatan pasca runtuhnya politik apharteid, dengan cara membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diketuai oleh Uskup Desmond Tutu. Komisi ini setidaknya telah menampung pengaduan para korban pelanggaran HAM seperti pembunuhan, pemerkosaan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh berbagai faksi, jumlahnyapun terbilang fantastis yakni sekitar 20.000. Itu belum terhitung para korban yang mengambil sikap diam dan pasrah. 

Karena Afrika Selatan merupakan negara yang multi kultur baik berdasarkan ras maupun agama. Semua elemen bangsa ini masing-masing terindikasi pernah melakukan pelanggaran HAM, sehingga komisi ini tak ubahnya  sebagai Komisi Pertaubatan Nasional.  Mekanisme penyelesaian kasus pelangggaran HAM itu dilakukan dengan cara dialog sekaligus pengakuan para pelaku, termasuk motivasi yang melatar belakangi perbuatan itu, setelahnya korban diminta untuk memaafkan, sehingga terjadi rekonsiliasi.

Tetapi pola ini juga banyak dikritik karena tidak memiliki solusi yang konkrit. Karena tidak adanya kompensasi serta upaya rehabilitasi para korban. Padahal mereka telah direndahkan harkat dan martabatnya, termasuk bagaimana hubungan mereka dengan masyarakat di sekitarnya, setelah menjadi korban pelanggaran HAM.***
Opini Isu HAM Yang Menjadi  Dagangan Musiman