Seusai pulang dari Belanda, RM Soewarni Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara tidak bisa menutupi kegelisahannya melihat rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), sehingga Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah hingga 350 tahun. Berangkat dari keprihatinan itulah Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia, dengan tiga semboyan cukup dikenal yakni, Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang berarti ‘di depan memberi contoh’ Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti ‘di tengah membangun semangat’ Tut Wuri Handayani, yang berarti ‘di belakang memberikan dorongan’.
Semangat yang sama juga ada dalam diri KH Ahmad Dahlan yang mendirikan lembaga sosial dan dakwah, Muhammadiyah serta KH Hasyim Ashari melalui lembaga social dan dakwah Nahdlatul Ulama. Ketiga tokoh itu dengan penuh sikap welas asih, mendidik para generasi muda untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme sekaligus mengangkat derajat bangsanya di mata bangsa-bangsa lain di dunia.
Mereka menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana untuk membangun peradaban bangsa dengan konsep dan metode, asah, asih dan asuh. (care and dedication based on love) yang menurut J. Sumardianta (2013: 02) asah maksudnya kegiatan pembelajaran mesti esensial dan bermakna. b. asih berarti kelemah lembutan cinta pendidik yang merawat murid (nurturing love) dalam pembelajaran. Sedangkan asuh maknanya inti kegiatan pendidikan pedagogik. Hal ini yang menjadikan belajar itu bukan ada karena paksaan tetapi lebih kepada kebutuhan yang dibutuhkan oleh peserta didiknya.
Dengan konsep dan metode itulah, para Bapak bangsa ini itu ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai ‘kawah candra dimuka’ untuk membentuk generasi muda yang menguasai Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) serta Imtaq (iman dan taqwa) sekaligus berkepribadian bangsa Indonesia (nation character bulding). Pembangunan manusia seutuhnya yang dimulai dengan peningkatan kualitas sumber daya itu terbukti, bisa memerdekakan Indonesia dari tangan penjajah, hingga kemerdekaan itu kini telah berusia ke 76.
Dalam usia yang sudah terbilang tua itu Indonesia telah menghasilkan pencapaian yang cukup gemilang dalam berbagai sektor serta melahirkan sejumlah pemimpin berkelas dunia. Sebutlah tokoh tokoh seperti, Soekarno, Agus Salim, Moh Hatta, selanjutnya ada Soeharto, Adam Malik, Habibie, Abdurrahman Wahid, Nurkholis Majid, SBY, Megawati, dll yang sudah dikenal dunia karena ketokohan serta pemikirannya.
Maka sangatlah miris dan ironis, jika dalam usia yang ke 76 dengan alokasi anggaran pendidikan di APBN tahun 2020 yakni sebesar Rp 508,1 triliun atau meningkat 6,2 persen dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 478,4 triliun, seperti yang tertera dalam laman Kementerian Keuangan, tetapi masih ada saja masyarakat yang mengeluh karena anaknya kesulitan mengikuti ujian karena alasan belum bayar uang sekolah atau uang kuliah serta dipersulit oleh pihak lembaga pendidikan. Sekalipun itu adalah wilayah otonom pihak penyelenggara pendidikan, tetapi setidaknya ada dispensasi bagi murid atau mahasiswa yang tidak mampu. Sehingga kegiatan belajar mengajar tidak terganggu tetapi fungsi sosialnya tetap berjalan.
Sangatlah menyedihkan jika masih ada sebagian pihak yang menganggap jika lembaga pendidikan adalah mesin penghasil uang, dan bukan sebagai ‘kawah candra dimuka’ yang seharusnya penuh dengan welas asih untuk menciptakan generasi muda yang tangguh untuk melawan new kolonialisme dan new imperialisme yang saat ini sedang gencar menggerogoti pondasi kebangsaan kita. Suatu kondisi yang pernah digambarkan oleh Soekarno, jika perjuangan mengusir penjajah itu jauh lebih mudah ketimbang perjuangan melawan diri bangsa sendiri yang salah satunya adalah melawan invidualisme dan ketidak pedulian.
Sumber Daya Manusia (human resource) merupakan faktor determinan dalam menghadapi kompitisi global yang semakin ketat. Apalagi kita terikat aturan tentang globalisasi serta kesepakatan regional seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang tidak membatasi persaingan semua Negara anggota dalam berbagai sector. Maka sangatlah ironis bila kita tidak siap menghadapi persaingan itu karena rendahnya kualitas SDM itu.
Dan tidak mungkin semua proses menciptakan SDM yang berkualitas itu harus dibebankan pada negara. Sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 melalui BAB XIII, Pasal 31 ayat (2), telah mengamanatkan tentang pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai "satu sistem pengajaran nasional". Tetapi tetap perlu partisipasi dari semua pihak termasuk swasta. Semua lembaga pendidikan itu harus tetap berpegang teguh pada prinsip dan konsep welas asih dalam mendidik dan mengasuh generasi muda, termasuk mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.***