a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Para Penyelamat PDIP

Para Penyelamat PDIP
Oleh : Gugus Elmo Rais

Menjelang suksesi kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2024, maka menjadi sangat menarik bila kita membaca  sejarah Partai PDI Perjuangan (PDI-P). Embrio partai berlambang banteng moncong putih ini adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang  berdiri pada tahun 1973 yang merupakan fusi dari sejumlah partai berbasis nasionalis seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Murba. Selain fusi dari golongan nasionalis, PDI juga terdiri dari fusi partai berbasis agama yakni Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik

Kendali partai ini kembali ke tangan trah Soekarno, pada 1993 setelah  Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi ketua umum hingga periode 1998. Namun, terpilihnya Megawati tak mendapat restu dari pemerintahan Orde Baru  sehingga muncul konflik internal. Pada 1996, PDI menggelar kongres pemilihan ketua umum yang ditentang Megawati. Kongres tersebut lantas memilih Soerjadi sebagai ketua umum.

Setelah terjadi konflik berdarah-darah pada bulan Juli 1996  dengan peristiwa yang kita kenal Kudatuli serta konflik kepengurusan dengan Kubu Budi Harjono, PDI bermetamorfosa menjadi Partai Demokrasi Indonesia  Perjuangan (PDIP) yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri. Metamorfose PDI menjadi PDIP pada tanggal 14 Februari 1999 itu tidak terlepas adanya disparitas antara fakta de jure dan de facto. Secara de jure memang pemerintah mengakui kubu Budi Harjono karena memang adanya hidden agenda pemerintah saat itu, tetapi secara de facto, gerakan wong cilik atau arus bawah yang mendukung PDI-P semakin membesar dan tak terbendung.

Klimaks dukungan masyarakat terhadap PDIP  sebagai bagian dari romantisme masa lalu karena kebesaran PNI itu terjadi dalam Pemilu tahun 1999. Saat itu partai  yang sering mempersonifikasi sebagai partai wong cilik ini berhasil meraup suara hingga   33,74 persen suara dengan 153 kursi di DPR. Ironisnya, dengan perolehan suara segede itu, PDIP tidak mampu mengantarkan Ketumnya sebagai Presiden RI yang ke 4 dan hanya menduduki kursi RI 2. Meski ‘kecelakaan sejarah’ itu tidak terlepas dari ‘telikungan maut’ dari kaukus politik poros tengah yang dikomandoi oleh Amien Rais CS.

Dalam Pemilu selanjutnya tahun 2004, perolehan suara PDIP kembali ngedrop dan hanya mendulang suara sebanyak 18,53 persen suara dengan 109 kursi di DPR. Dan lagi–lagi, sang Ketum yang berpasangan Hazim Muzadi, harus mengubur keinginannya untuk duduk di singgasana  RI sekaligus mengembalikan marwah PDIP sebagai partai besar, menjadi gagal karena kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).

Seiring dengan luruhnya hegemoni Partai Demokrat serta tertutupnya peluang SBY untuk menjadi Capres lagi pada Pemilu 2014, PDIP kembali memperoleh momentum. Meski perolehan suara PDI-P  dalam Pemilu 2014 hanya sebesar  18,95 persen suara dengan raihan 109 kursi DPR, tetapi karena kehadiran cah deso yang menjadi rising star, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta serta mantan Walikota Solo, Joko Widodo. Kehadiran Jokowi dalam kancah perpolitikan nasional ini tak ubahnya seperti ‘juru selamat’ bagi marwah PDIP. Karena dengan gemilang bersama dengan Jusuf Kalla memperoleh suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85% sesuai dengan keputusan KPU RI pada 22 Juli 2014.

Meski hanya didapuk sebagai ‘petugas partai’ tetapi Jokowi kembali menjadi penyelamat muka PDIP, terbukti berdasarkan hasil polling sejumlah lembaga survey, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah masih di atas 50 %. Padahal  beberapa kader partai  PDIP terjerat kasus korupsi seperti mantan Menteri Sosial Juliari Batubara  dan Gubenur Sulawesi Selatan Nurdin Abdulah, tetapi tingkat  kepercayaan masyarakat terhadap PDIP tidak ada tanda-tanda menurun. Jadi  itu menjadi realitas tak terbantahkan, jika PDIP selamat dari ‘kutukan’ sebagai partai yang gagap dan menjadi korup bila berkuasa. Karena kinerja Jokowi dalam memimpin republik ini cukup baik.      

Maka menghadapi hajatan politik 2024 ini kepiawaian Ketum  PDIP akan sangat diuji dalam menentukan calon jagoannya untuk kembali menyelamatkan marwah PDIP dalam jagad politik nasional. Apalagi dalam bursa Capres dan Cawapres 2024 tidak banyak figur yang memilki kualifikasi seperti itu. PDIP harus jeli dalam memilih calon kadernya yang secara kualitatif memiliki kemampuan managerial dalam mengendalikan republik ini. Sementara untuk mempersiapkan kader yang baru sangat tidak mungkin.  

Selain kualifikasi secara normatif, PDIP harus benar-benar memiliki parameter tersendiri untuk menentukan figur yang layak untuk diberi komando. Dalam kondisi seperti ini melalui mekanisme Pilpres secara langsung, mau tidak mau PDIP harus menggunakan hukum pasar yakni supplay dan demand, untuk mengukur tingkat elektabilitas calon.  Selain berhadapan dengan konstituennya, PDIP harus bisa menawarkan calonnya ke partai-partai lain  agar mau diajak koalisi. Parameter yang bisa digunakan adalah tingkat elektabilitas yang telah dirilis oleh sejumlah lembaga survey, meski itu tidak harus menjadi ukuran utama.

Bila PDIP mengabaikan hukum pasar, maka sejatinya PDIP tidak pernah belajar dari masa lalu, yang selalu meminta para penguasa jangan  mengabaikan suara arus bawah atau wong cilik sebagai mana lazimnya negara demokrasi (vox populi vox dei). Kondisi terkini di internal PDIP sendiri, nama Ganjar Pranowo hingga saat ini masih leading dalam perolehan suara berdasarkan sejumlah survey. Maka keberadaan Ganjar Pranowo saat ini mau tidak mau, bisa dianggap menjadi sosok penyelamat bagi PDIP.

Tingkat elektabilitas yang tinggi bisa menjadi faktor penyelamat PDIP dalam Pilpres yang akan datang. Sebaliknya jika PDIP mengabaikan realitas itu, Ganjar justru bisa akan faktor kejatuhan PDIP. Karena suara  PDIP niscaya akan terbelah jika Ganjar ditelantarkan secara politik.***
Opini Para Penyelamat PDIP