Terlalu gegabah bila kita mengatakan jika pandemi Corona Virus Desease (Covid 19) yang pertama kali muncul dari Kota Wuhan, China ini adalah produk konspirasi. Meski berdasarkan hipotesa dan pengakuan salah satu perwira CIA, Philip Giraldi, kemungkinan itu sangat terbuka dengan memunculkan dugaan teori konspirasi Economy Big Star yang ditulisnya dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Strategic Culture Foundation, Kamis, 5 Maret 2020. Teori itu mengungkapkan tujuan munculnya virus itu untuk menghentikan hegemoni sejumlah negara yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Sehingga konstelasi kekuatan dunia telah mengalami pergeseran.
Tetapi lebih baik kita mengesampingkan berbagai hipotesa itu yang justru akan memecah kosentrasi kita untuk melawan pandemi Covid 19 yang telah menjelma menjadi musuh yang menakutkan kita dalam palagan peperangan biologi. Karena secara empiris, pandemi Covid 19 itu telah menghadirkan horror black death ke seluruh penjuru dunia. Virus Corona itu kini telah menjelma menjadi Weapon of Mass Destruction (WMD) senjata pemusnah massal yang sangat mematikan. Berdasarkan data terkini dari Worldometer hingga Senin, (12/7) tercatat 4.048.726 korban meninggal dunia. Sementara itu, total kasusnya mencapai 187.612.681. Adapun, 171.517.667 orang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Angka itu adalah korban hampir di seluruh Negara di dunia.
Jumlah pasien yang terpapar Covid 19 di Indonesia juga sangat mencemaskan. Hingga tanggal 13 Juli 2021 tercatat 2.567.630 orang terkonfirmasi, 380.797 dalam perawatan, 2.119.478 dinyatakan sembuh. Sedangkan angka kematian telah mencapai 67.355 jiwa. Dengan angka pertumbuhan harian berkisar 40.000 pasien/hari. Angka kematian itu adalah angka yang paling mengerikan dalam sejarah peradaban, sejak mulai muncul perang biologi yang pertama kali dialami oleh Bangsa Iran kuno Scythian (400 SM) yang saat itu menggunakan panah yang dilumuri dengan kotoran. Atau saat Bangsa Mongol yang menggunakan mayat-masat manusia yang terinfeksi penyakit pes untuk mengusir Bangsa Genoa dari Kota Kaffa di Laut Hitam.
Bio weapon itu terus mengalami evolusi seiring dengan majunya peradaban manusia dan kini menjadi patogen berupa bakteri, virus dan organisme penghasil penyakit yang ternyata jauh lebih mematikan. Virus ini hampir sejenis dengan virus Ebola, SARS dan Anthrac tetapi genom ini jauh lebih mematikan dan terus mengalami mutasi. Beberapa varian Covid 19 itu diantaranya adalah varian yaitu Alfa, Beta, Gamma, Delta. Nama yang terakhir itu memiliki masa inkubasi yang pendek dan sangat mematikan.
Hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif untuk melawan Covid 19. Usaha maksimal yang dilakukan untuk melawan penyebaran itu adalah menumbuhkan kesadaran setiap individu untuk menjalani Protokol Kesehatan (Prokes) sesuai dengan standar World Healt Organisation (WHO) yakni dengan cara Menjaga jarak, Menggunakan Masker, serta menggunakan Hand Sanitizer (3M). Dan salah satu pencegahan yang paling efektif adalah melakukan vaksinasi. Beberapa jenis vaksin itu diantaranya adalah Sinovac, Sinopharm, dan AstraZeneca.
Dengan jumlah populasi yang sangat besar 270 juta jiwa, atau peringkat 4 dunia tentu konsumsi Indonesia terhadap vaksin itu sangat besar sekaligus menjadi pasar yang menjajikan. Bahkan anggaran untuk membeli vaksin ini bisa mencapai angka ratusan triliun. Sementara China mengklaim telah mendistribusikan vaksin hingga 400 juta dosis.
Maka berdasarkan realitas itu tidak bisa tidak jika kita mengatakan jika saat ini kita sedang menjalani kondisi perang biologi. Meski kita tidak tahu siapa sesungguhnya yang menjadi ‘bandar’ dari Virus Corona itu yang sesungguhnya. Tetapi yang jelas kini hampir semua negara sedang berjibaku melawan pandemi yang tiada henti. Dan vaksinasi menjadi elemen yang sangat penting dalam mencegah penyebaran Covid 19.
Ironisnya, kini justru terjadi polemik dalam pengelolaan sekaligus penggunaan vaksin untuk mencegah pandemi Covid 19 di Indonesia. Maka menurut saya, tindakan TNI melalui Kasad, Jenderal Andika Perkasa melakukan Memorandom of Understanding (MoU) dengan pihak BPOM serta Kemenkes adalah cara yang sangat cerdik untuk melakukan imunoteraphy dendritic. Dengan cara melakukan pengambilan darah pasien yang dipecah untuk dijadikan serum. Cara ini dinilai jauh lebih efektif sesuai dengan genom yang ada di Indonesia. Maka dengan MoU itu publik tidak akan terjebak dalam wacana prosedural tentang mekanisme uji klinis dalam penggunaaan Vaksin Nusantara yang merupakan produk anak bangsa.
Indonesia tidak akan terjebak dalam ketergantungan dengan negara asing untuk mempergunakan vaksin yang diproduksi dari luar. Bahkan dengan tindakan jenderal peraih penghargaan The Legion of Merit Degree of Chief Commander dari Amerika itu, akan menutup ruang terjadinya kartelisasi proses pengadaan vaksin. Karena sudah menjadi rahasia umum, sering kali pengadaan komoditas yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak di Indonesia, kerap dikendalikan oleh para kartel. Sekaligus semua elemen masyarakat bisa dilibatkan secara aktif dalam perang melawan senjata biologi yang hingga kini belum jelas siapa tuannya. ***