Perlukah Kita Bersikap Baper Dalam Menyikapi Krisis Gaza ?
Oleh : Gugus Elmo Rais
Bagi umat penganut agama Samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), semua telah mengakui keistimewaan Bangsa Yahudi. Dalam Al Qur’an sendiri banyak ayat yang telah mendiskripsikan, tentang kecerdasaan dan keistimewaan Bangsa Yahudi, sebutlah dalam QS : 2 : 40,47,50,52,53,56,57,58,60,61, 64. Secara spesifik dalam Surat Al Baqoroh ayat 122, Al Qur’an telah menyebutkan, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat,”. Bahkan, Tuhan secara simbolik pernah memperlihatkan kemampuan istimewa Bangsa Yahudi dalam bentuk pemberian mu’jizat yang tidak bisa diterima secara nalar manusia biasa berupa kemampuan Nabi Musa membelah lautan, ketika dikejar oleh Fir’aun sekaligus menenggelamkan penguasa lalim itu.
Begitu juga halnya bagi penganut agama lain selain Islam seperti halnya Nasrani dan tentu saja Yahudi, pengikut Nabi Musa itu sering disebut-sebut sebagai bangsa yang diberkati Tuhan. Dalam skala tertentu klaim itu sah-sah saja dan tidak perlu kita bantah. Tetapi kemudian timbul persoalan yang pelik, ketika sesama keturunan dari Abul Anbiya (Bapak para nabi) Ibrahim AS itu kini terlibat konflik, untuk memperebutkan lahan.
Apalagi ada realitas yang tak terbantahkan di wilayah yang kini dikuasai dan diperebutkan oleh Bangsa Yahudi dan Bangsa Palestina yakni Yerusalem Timur terdapat tiga tempat suci, yakni tembok ratapan di Bait Suci (Temple Mount), Bethlehem tempat kelahiran Nabi Isa (Yesus) serta Al Aqsho tempat transit bagi Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu keturunan dari Nabi Ibrahim melalui Ismail, sebelum menuju sidhrotul muntaha (langit ke 7) untuk memperoleh perintah sholat dari Allah SWT. Sehingga ketika muncul krisis di Yerusalem Timur secara otomatis melibatkan emosi masing-masing umat.
Maka disinilah pentingnya kita sebagai penganut salah satu dari ketiga keyakinan itu untuk berpikir jernih dan bersikap obyektif. Kita tidak perlu mengkultuskan suatu bangsa secara berlebihan agar tidak menimbulkan sikap chauvinis terhadap para pihak. Bagi Muslim, meski kita meyakini jika Islam lahir di Kota Suci, Mekah, Arab Saudi, kita juga tidak perlu menganggap jika apa yang dilakukan oleh Bangsa Arab itu selalu benar terutama dalam menyikapi krisis Gaza. Karena faktanya, bangsa itu pernah mengalami jaman jahiliah yang tidak memiliki norma-norma kesusilaan. Ketika Islam lahir dan besar seperti saat ini, budaya Arab tidak secara otomatis bisa kita jadikan sebagai role model dalam menentukan standar nilai. Secara empirik saat ini budaya borju dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan masih banyak terjadi di Jazirah Arab.
Begitu juga halnya terhadap orang-orang yang menyakini jika Yahudi adalah bangsa yang diberkati. Sebagaimana lazimnya orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Tuhan, cenderung bersikap jumawa (takabur) dan menganggap dirinya yang paling benar. Dan sikap jumawa itulah yang kini diperlihatkan oleh Israel dengan meluluh lantakkan Bangsa Palestina dengan kekuatan militer penuh. Seperti tidak ada cara lain yang lebih civilize. Seakan Israel hanya ingin mempertontonkan kecanggihan dan kekuatan militernya. Meski lawan yang dihadapi hanya sebesar gurem.
Padahal dunia telah mengecamnya, karena korban yang banyak berjatuhan adalah masyarakat sipil yang terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu. Entah apa yang ada dalam benak para petinggi Israel, sehingga tidak segera menghentikan pertempuran antara gajah dan semut atau antara David dan Goliath itu. Apakah sikap Israel itu mencerminkan sikap sebagai bangsa yang diberkati Tuhan ?. Sekalipun dasar mereka melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Palestina itu berdasarkan klaim sejarah yang masih perlu diperdebatkan.
Bila kita meminjam analisa dari Noam Chomsky, seorang Laureate Professor of Linguistics di University of Arizona dan Professor Emeritus di MIT, melalui tulisannya, The Fateful Alliance: The United States, Israel and Palestinians; Gaza in Crisis: Reflections on Israel’s War Against the Palestinians, Israel memang dengan segala cara akan melakukan penggusuran dan pengusiran terhadap Bangsa Palestina untuk diganti dengan pemukiman Yahudi. Dan menurut Chomsky, semua serangan itu tidak terlepas dari dampak dukungan Donald Trump terhadap rencana pemindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv menuju ke Yerusalem Timur.
Maka, kita harus menempatkan krisis Gaza sebagai krisis politik, krisis hukum dan krisis kemunisaan, meski krisis itu terjadi dan menyangkut pengelolaan tiga tempat suci bagi umat agama Samawi. Sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kita harus mempelihatkan solidaritas kita sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 alinea pertama: "Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Dalam konteks ini sikap pemerintah melalui Presiden Jokowi, maupun Menlu Retno Marsudi layak untuk diapresiasi. Meski kecaman dan kutukan itu terasa kurang sebelum ada implementasi lebih lanjut. Karena komunike bersama pasti tidak akan efektif kecuali ada langkah-langkah yang bersifat afirmatif. Karena Israel telah jelas-jelas melanggar norma-norma hukum internasional (Jus Cogen) hingga Konvensi Jenewa. Apalagi posisi Indonesia yang semakin diperhitungkan dunia terutama di forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Non Blok.
Karena alasan kemanusiaan itulah kita tidak bisa melakukan dekontruksi, bahwa krisis itu hanyalah krisis antara Hamas dan Israel. Apa yang dilakukan oleh Hamas merupakan sebuah konsekuensi logis, sebagai sebuah kelompok dan kekuatan politik yang dominan di wilayah itu. Organisasi dibawah pimpinan Ismail Haniyeh (Perdana Menteri Palestina) ini memang besar di Gaza, sehingga ketika Gaza mendapat serangan secara otomatis Hamas akan memberikan perlawanan. Karena Palestina tidak memiliki kekuatan militer yang memadai.
Sementara Fatah pimpinan Mahmoud Abbas (Presiden Palestina) yang dominan di Tepi Barat tidak mungkin ikut cawe-cawe, sedangkan kelompok lain seperti PLO pasca meninggalnya Yasir Arafat kekuatannya tidak lagi signifikan. Meski keterlibatan Hamas ini dipandang kurang populis terutama Indonesia, karena memiliki kedekatan ideology dengan Ikhwanul Muslim yang telah dilarang di Mesir.
Maka menyikapi krisis Gaza kita harus berpikir jernih dan tidak perlu kita mengaitkan dengan konflik agama. Meski di dalamnya terkait dengan hak penguasaan dan pengelolaan tiga tempat suci dari agama yang berbeda. Para pihak harus mendorong opsi two state solution, sebagai opsi yang elegan dan realistis untuk mengakhiri konflik itu. Dengan catatan dunia harus mendesak Amerika Serikat sebagai sekutu utama dan mau menekan Israel untuk mau menerima opsi itu.***