Akhir-akhir ini sering tersangka menggantungkan harapan atas pulihnya hak-haknya melalui putusan praperadilan. Proses praperadilan terakhir yang ramai kita dengar di media online adalah kasus penangkapan Munarman yang diduga terlibat dalam tindak pidana terorisme. Pro dan kontra mencuat di masyarakat, khususnya penangkapan yang disertai pemborgolan dan menutup mata, yang dinilai oleh masyarakat sebagai pelanggaran hak asasi.
Apakah cara penangkapan tersebut sudah sesuai hukum, ada pihak yang menjawab, bahwa hal itu sudah sesuai dalam tindak pidana terorisme, sebagai extra ordinary crime. Maka bagaimana dengan tindak pidana yang lain yang juga disebut sebagai extra ordinary crime yaitu tindak pidana korupsi, apakah tersangka korupsi disertai dengan tutup mata dan borgol. Apa dasar hukumnya penangkapan dengan tutup mata dan pemborgolan apakah suatu undang-undang atau SOP yang ditetapkan Kapolri, dan apakah cara-cara penangkapan tersebut dapat diuji dalam gugatan praperadilan.
Untuk meminimalisasi pernyataan dan ketidakpuasan anggota masyarakat atas penangkapan tersebut, hendaknya Kepolisian dalam melaksanakan tindakan penyelidikan dan penyidikan lebih mendahulukan hak asasi terlapor atau tersangka, bukan mendahulukan wewenangnya yang diberikan undang-undang, agar praperadilan tidak menjadi tumpuan untuk menilai keabsahan wewenang tersebut. Janganlah penegak hukum berdalih, jika tidak puas atau keberatan silahkan ajukan praperadilan.
Pada hal kita tahu peluang untuk menang di praperadilan sangatlah kecil persentasenya, disebabkan sistimnya dibuat sedemikian rupa sehingga lebih menguntungkan si termohon/penyidik, misalnya dalam hal mengajukan alasan praperadilan menurut pemohon masih dalam batas proses acara formal penangkapan, penahanan tapi menurut terlapor sudah masuk dalam agenda pembuktian pada sidang pokok perkara, dan hal ini menjadi pertimbangan hakim praperadilan untuk menolak permohonan praperadilan, pada hal mungkinkah memisahkan syarat penangkapan, penahanan, dengan alat bukti yang sah, sebagai dasar hukum dari penangkapan, penahanan itu sendiri.
Ketika pemohon mempertanyakan alat bukti tersebut, oleh pihak termohon sudah menolaknya dengan alasan sudah masuk dalam pokok perkara. Belum lagi, adanya upaya dari termohon dengan sesegera mungkin mendaftarkan pokok perkaranya di PN setempat, dan sejak Jaksa penuntut membacakan surat dakwaan, sejak saat itu proses praperadilan atas perkara tersebut, yang sudah berlangsung dan tinggal membacakan putusan, harus dibatalkan karena hak mengajukan praperadilan menjadi gugur jika pokok perkaranya sudah diperiksa di PN.
Hal ini membuat terbatasnya peluang memenangkan gugatan di sidang praperadilan. Kehadiran praperadilan dalam KUHAP, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri melainkan hanya pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Pengadilan Negeri. Pasal 1 butir 10 KUHAP menegaskan pengadilan untuk memeriksa dan memutus tentang sah tidaknya penangkapan/penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan/penghentian penuntutan, permintaan ganti rugi/rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri. Tata cara proses pemeriksaan sidang praperadilan di atur dalam Bab X Bagian ke I Pasal 79 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Pemeriksaan praperadilan bisa gugur artinya dihentikan sebelum putusan dijatuhkan tanpa putusan yaitu dengan cara menggugurkan permintaan pemohon prapeadilan, dan sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik ke Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutus dalam perkara pokoknya.. Dengan cara demikian berarti keberadaan dan fungsi praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan menjadi terabaikan, karena sudah ditarik dan masuk dalam pemeriksaan pokok perkara di sidang Pengadilan Negeri.
Sisi lainnya dengan terbatasnya gugatan praperadillan yang dikabulkan oleh Hakim, membuat bertambahnya beban kerja hakim di pengadilan yang akan mengadili pokok perkaranya. Semestinya jumlah perkara yang masuk, dapat berkurang karena sudah dilakukan pemeriksaan pendahuluan di sidang praperadilan, dengan putusan penangkapan, penahanan atau penetapan tersangka tidak berkekuatan hukum, karenanya harus dibatalkan. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, hampir semua putusan praperadilan menolak permohonan gugatan praperadilan yang diajukan pemohon, mau tidak mau putusan ini harus dianalogkan sebagai suatu pembenaran dan legitimasi terhadap tindakan hukum yang sudah dilakukan oleh penyidik.
Meskipun ada putusan Hakim di PN, yang memeriksa pokok perkara memutus dengan putusan lepas/onslag, karena perbuatan yang dilakukan oleh tersangka bukanlah suatu tindak pidana dan membebaskan tersangkanya dari tahanan. Bukankah hal ini semestinya tidak perlu terjadi, dimana hal tersebut sudah selesai ditingkat penyelidikan dalam menentukan perbuatan yang diperiksa adalah suatu tindak pidana. Bagaimana dengan hak-hak tersangka yang sudah terlanjur dirampas seperti hak kemerdekaannya, bisakah itu dipulihkan seperti semula. Bahkan ada pula putusan hakim, yang tetap menyatakan terdakwa bersalah dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara potong masa tahanan, tapi pidana penjara yang dijatuhkan sama lamanya dengan masa tahanan sementara yang sudah dijalani terdakwa sehingga sejak putusan hakim dibacakan, sejak saat itu pula terdakwa dibebaskan dari tahanan.
Apakah ini ada korelasinya dengan pemeriksaan di tingkat penyelidikan atau di praperadilan yang belum maksimal, atau secara kebetulan saja. Oleh sebab itu, upaya praperadilan yang disediakan oleh KUHAP sebaiknya dipandang sebagai upaya terakhir yang tidak direncanakan sebelumnya oleh pihak manapun. Dengan anggapan, jika ada pihak-pihak yang tidak puas dengan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, silahkan mengajukan praperadilan. Seolah-olah praperadilan ini menjadi pembenaran atas semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan upaya paksa. Tapi hendaknya, kontrol dan ketelitian, dalam menganalisa dan menyiapkan alat bukti, sudah harus ada sejak di mulainya upaya paksa oleh aparat penyidik, bukan dengan target memenangkan keberatan atau ketidak puasan tersangka di sidang praperadilan.
Asas presumption of innocence atau praduga tidak bersalah seolah-olah hanya berlaku dalam persidangan, dimana Hakim harus menggali fakta-fakta hukum dari pemeriksaan alat bukti yang diajukan dalam persidangan yang berdasarkan alat bukti tersebut, timbul keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah. Tapi bagaimana dengan alat bukti yang dapat meniadakan atau meringankan dakwaan pada terdakwa, yang tidak diajukan oleh penuntut umum, agar upaya paksa yang sudah dilakukan menjadi sesuatu yang benar dan sesuai asas praduga bersalah yang dianut di penyidikan dan penuntutan.
Dengan diputusnya terdakwa bersalah, dianggap sudah berhasil tugas dan fungsinya. Pada hal bukankah pemeriksaan dalam acara pidana itu bertujuan untuk memperoleh kebenaran materil, kebenaran sesungguhnya bukan hanya kebenaran tekstual atau kebenaran formil semata, sesuai dengan undang-undang saja. Sementara advokat yang tugas dan fungsinya adalah untuk membebaskan kliennya mempunyai keterbatasan baik dalam kewenangan maupun waktu pengumpulan alat bukti, sehingga tidak berhasil membuktikan kliennya tidak bersalah. Kebenaran materil sebagai tujuan pemerikasaan perkara pidana ini, hanya dapat dicapai apabila penyidik dan penuntut tetap berpedoman pada asas praduga tidak bersalah.
Hal ini sesuai dengan KUHAP yang dengan tegas dinyatakan dalam penjelasan umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu: "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.".
Dan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan. Dengan demikian pada tahapan setiap orang yang disangka, ditangkap dan ditahan, dapat digunakan penyidik sebagai sarana untuk mengumpulkan alat bukti yang menyatakan tersangka bersalah sekaligus mengumpulkan dan mempertimbangkan alat-alat bukti yang dapat menyangkal kesalahan rersangka tidak bersalah.
Terkait dengan asas praduga tidak bersalah diatas, hal ini menimbulkan konsekwensi bagi penuntut agar jaksa yang mendakwa harus menuntut tidak hanya berupaya membuktikan dakwaannya, tapi juga disertai dengan kewajiban membuktikan terdakwa tidak bersalah melalui hasil pemeriksaan di pengadilan yang menemukan hal-hal yang dapat membebaskan terdakwa. Kewajiban jaksa menuntut terdakwa dibebaskan dari dakwaan dan tuntutannya jika ditemukan dalam fakta hukum persidangan, terdapat hal-hal yang membebaskannya adalah merupakan wujud nyata pencaharian kebenaran materil dalam perkara pidana.*