Judul artikel ini mungkin terlalu halu dan berlebihan, tetapi bila melihat kondisi geo politik terkini, maka saat inilah momentum yang pas bagi Indonesia untuk bermetamorfosa menjadi kekuatan militer yang disegani di dunia. Belajar dari sejarah kebesaran Majapahit, kekuatan militer bisa menjadi alat diplomasi yang efektif untuk menunjukan eksistensi Indonesia, tidak hanya sekedar menjadi raja di kawasan regional. Seperti halnya adagium Yunani yang terkenal, 'si vis pacem, para bellum' (kalau menghendaki damai, siaplah untuk perang). Apalagi untuk menghadapi sejumlah negara yang terkadang bersikap ‘tengil’ seperti China, Australia, bahkan Malaysia.
Kondisi geo politik yang penuh dengan ketegangan serta persaingan terselubung, antara Amerika-Rusia/Suriah, Amerika-China, Amerika-Korea Utara, Amerika-Iran, Amerika-Turki, Iran-Israel, serta China- versus negara-negara Asean, harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memperkuat militernya. Tidak adanya persaingan ideologi, antara Blok Barat dan Blok Timur niscaya akan meringankan langkah Jakarta untuk bermanuver, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Soekarno saat memborong besar-besaran Alutsista dari Rusia tahun 1960.
Saat itu, Presiden Rusia, Nikita Kruschev mengamini saja kemauan Soekarno untuk memborong Alutsista meski dengan cara ngutang. Manuver Soekarno itu dilakukan setelah Presiden Amerika, D Eisenhower maupun penggantinya, John F Kennedy menanggapi dingin permintaan Soekarno yang membutuhkan persenjataan untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Sebenarnya, pola yang mirip telah dijalankan oleh pemerintah saat ini, setelah Indonesia membeli 11 pesawat Sukhoi (SU 35) tahun 2017 lalu senilai US $ 1,14 milliar atau senilai Rp 16 trilliun, Washington menjadi ‘blingsatan’ dengan buru-buru mau membuka embargo senjata ke RI.
Terbukti, Paman Sam akhirnya mau membuka diri untuk pengadaan pembelian 24 unit jet tempur F-16V buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat (AS). Selain pesawat tempur, pembelian Alutsista itu untuk pengadaan dua kapal jenis fregat dengan tipe Sigma 10514, yang dapat dipastikan memerlukan anggaran yang sangat besar. Seperti diketahui, pasca peristiwa Santa Cruz di Dilli, Indonesia sempat diembargo oleh Amerika. Dan hal itu sempat saya konfirmasi dan diiyakan oleh Juru Bicara Gedung Putih, saat itu Nikolas Burn.
Kita tidak perlu bersikap introvert dan inferior apalagi telalu mengagung-agungkan kekuatan militer negara lain seperti Amerika, Israel maupun China. Dengan berbekal Alutsista yang seadanya, kini kekuatan militer Indonesia menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia. Berdasarkan hasil survei Global Fire Power (GFP), kekuatan militer Indonesia pada 2020 menempati posisi ke-16 dari 137 negara, dengan indeks 0,2544 (0,0000 adalah indeks sempurna). GFP mengatakan, analisis ini didasarkan pada data militer tiap negara sejak tahun 2006-2020.
Peringkat itu didasarkan pada potensi kemampuan menciptakan perang baik di darat, laut dan udara yang diperjuangkan dengan senjata konvensional. Tidak hanya itu, dalam mendapatkan data akhir, GFP memasukkan pula faktor pendukung lain misalnya keuangan, geografis, dan sekitar 55 faktor lainnya. Seperti dikatahui kekuatan militer Indonesia itu terdiri dari sisi Angkatan Darat, yang memiliki 313 tank perang, 1.178 kendaraan berawak, 153 artileri otomatis, 366 artileri manual, serta 36 proyektor misil milik TNI AD. Sedangkan di udara, TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 39 pesawat tempur khusus, 5 pesawat khusus, 54 transportasi udara, 109 pesawat latih, serta 177 helikopter dan 16 helikopter perang. Sementara TNI AL memiliki 7 fregat, 24 corvette, 5 kapal selam, 156 kapal patroli, dan 10 pangkalan perang.
Padahal anggaran militer Indonesia terbilang sangat kecil. tahun 2019 lalu alokasi anggaran pertahanan Indonesia hanya sebesar Rp 131,2 triliun atau 0,68 persen terhadap PDB. Dalam Renstra Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia tahun 2015-2019 disebutkan bahwa terdapat target untuk dapat menaikkan anggaran pertahanan menjadi sebesar 1,5 persen dari PDB. Idealnya alokasi anggaran pertahanan itu berkisar 1,5-2% dari PDB. Tetapi melihat kondisi perekonomian terkini yang terpuruk karena pandemi, harapan Menhan Prabowo untuk memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 296 triliun untuk modernisasi Alutsista kemungkinan besar tidak bakalan keturutan.
Dari sisi kemampuan SDM TNI, sudah tidak diragukan lagi. Kemampuan personil TNI yang mampu menjuarai lomba menembak antar-negara Australian Army Skill-At-Arms Meeting (AASAM) 12 kali secara berturut-turut merupakan salah satu bukti kecil kemampuan TNI yang diakui dunia. Tetapi pengakuan beberapa perwira tinggi legendaris Amerika seperti Jenderal (Purn) Mike Jackson (pemimpin pasukan Inggris saat menyerbu Irak), Jenderal (Purn) Tommy Franks (pemimpin Delta Forces saat Operasi Badai Gurun), Jenderal (Purn) Peter Pace (mantan Jenderal US Marine dan Kepala Staf Gabungan US) serta mahasiswa dari Universitas Dallas, dalam acara talk show di TV ABC 13, Texas yang bekerjasama dengan Universitas, Dallas, Texas tahun 2015 lalu bisa menjadi bukti jika militer Indonesia sangat diperhitungkan. Dan ketiga-tiganya menyatakan jika tidak lama lagi militer Indonesia akan menjadi kekuatan militer terbesar dan tertangguh di dunia.
Secara terang-terangan ketiga jenderal itu mengungkapkan jika Amerika akan berpikir seribu kali bila ingin berperang dengan Indonesia. Secara sportif Tommy Franks mengakui jika ‘kekalahan’ Amerika dalam perang Vietnam serta Perang Korea tidak terlepas dari peran Indonesia yang telah dianggap sebagai mentornya perang gerilya. Dan Franks pasti tidak bermaksud basa-basi, karena faktanya kini militer Indonesia diminta sebagai guru bagi militer di berbagai Negara Asia dan Afrika.
Sementara Jenderal Peter Pace secara jujur mengakui jika anak buahnya sering kewalahan menghadapi militer Indonesia disaat melakukan latihan militer bersama. Bahkan secara mengejutkan Peter Pace saat itu menyatakan jika saat ini Marinir Indonesia masuk kategori Marinir 3 besar di dunia. Pace saat itu juga mengungkapkan jika TNI memiliki pasukan yang mempunyai kualifikasi terlengkap di dunia yakni Paskhas AU.
‘Operasi senyap’ yang dilakukan oleh Menhan Prabowo Soebianto dalam memordenisasi Alutsista TNI layak untuk diberikan apresiasi. Selain karena dukungan dari industri militer dalam negeri yang terus mengalami peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas, Indonesia juga harus membuka diri seluas-luasnya dengan pabrikan luar negeri. Seperti misalnya dengan Korea Selatan untuk pengadaan kapal selam, Prancis untuk industri pesawat serta Swedia untuk artileri anti pesawat dan tentu saja Rusia untuk pengadaan pesawat Sukhoi jenis terbaru.
Keterbatasan anggaran karena pandemi, bisa saja disiasati oleh Prabowo dengan cara seperti Soekarno yang bisa ngutang senjata. Apalagi selama ini Rusia cukup terbuka dengan berbagi opsi sekaligus tidak pernah rewel seperti halnya Amerika. Rusia selama ini berusaha menjadi ‘teman yang baik’ dengan membuka opsi imbal dagang antara industri militer dengan berbagai komoditas yang dimiliki Indonesia seperti minyak sawit, karet dan lain-lain.
Untuk kepentingan industri militer mereka, Rusia akan selalu berusaha terbuka serta fleksible. Sebaliknya kondisi itu bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memodernisasi Alutsista sekaligus menjadikan militer Indonesia sebagai kekuatan yang semakin paripurna, sebagai langkah Indonesia menjadi salah satu raja dunia. Dengan catatan, TNI harus menjadi militer yang semakin profesional, serta menghilangkan catatan kelam yang pernah dimiliki.***