a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Terkait Pencopotan Kapolsek Percut Sei Tuan, Penyidik Harus Hati-Hati Dalam Menetapkan Tersangka

Terkait Pencopotan Kapolsek Percut Sei Tuan, Penyidik Harus Hati-Hati Dalam Menetapkan Tersangka
Oleh : Houtlan Napitupulu SH.MM.MH

Akhir-akhir ini beberapa media sosial memberitakan kasus pencopotan AKP Janpiter Napitupulu dari jabatan Kapolsek Percut Sei Tuan, Medan. Tindakan pencopotan jabatan Kapolsek ini dianggap sebagai tindakan yang tegas dari Kapolda Sumut, atas kesimpulan hasil audit bahwa penyidikan dan penetapan tersangka Liliwari pedagang cabai di pasar tidak profesional. Meskipun menurut beberapa pihak pencopotan ini kurang adil bahkan prematur.

Satu sisi masyarakat menyuarakan percuma lapor polisi, si pelapor yang menjadi korban dari tindakan penganiayaan preman, bisa menjadi tersangka. Suara masyarakat ini, mendorong pimpinan Polri untuk bersikap atas penetapan si pelapor menjadi tersangka dan melakukan pemeriksaan terhadap Kapolsek dan Kanit reskrim yang berujung dengan pencopotan.

Secara teori penetapan seseorang sebagai tersangka diawali dari laporan atau pengaduan oleh korban atau anggota masyarakat. Atas laporan tersebut, dilakukan penyelidikan untuk menentukan apakah perbuatan yang dilaporkan tersebut adalah tindak pidana atau bukan. Jika hasil penyelidikan berdasarkan bukti permulaan yang disampaikan pelapor atau yang ditemukan oleh penyelidik, perbuatan yang dilaporkan adalah tindak pidana maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi penyidikan, yang bertujuan untuk mengumpulkan minimum dua alat bukti yang sah dan menetapkan siapa si tersangka.

Jika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka maka upaya paksa sudah dapat dilakukan yaitu melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, bahkan status tersangka ini sudah membuat si tersangka tersandera, walaupun yang bersangkutan tidak ditahan yaitu yang bersangkutan tidak dapat bepergian atau dicekal, melepaskan jabatannya, hilangnya atau berkurang penghasilan/di tunda gaji, hingga stigma kriminal bagi yang bersangkutan dan anggota keluarganya.

Berangkat dari penderitaan yang dihadapi seseorang sebagai akibat penetapan dirinya sebagai tersangka, maka penyidik harus ekstra hati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka karena akan mendapat perlawanan dari tersangka hingga mengajukan gugatan Praperadilan. Sesungguhnya bukan hanya penyidik yang tidak profesional yang menjadi korban dari penetapan seseorang sebagai tersangka tapi juga oleh pribadi dan keluarga si tersangka itu sendiri bahkan masyarakat luas merasa terusik rasa keadilannya sehingga bereaksi melalui bermacam-macam cara, demo, membuat pernyataan dsb.

Karena itu, roh atau hukum acara pidana ( KUHAP ) secara tersirat sudah mengatur jika ada keragu-raguan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka tunda lah peningkatan status penyidikan, lakukan penyelidikan semaksimal mungkin, karena penyelidikan ini tidak diikat oleh waktu dan belum ada penetapan seseorang sebagai tersangka, sehingga tidak ada dirugikan, setelah di masa penyelidikan ini sudah terkumpul alat bukti yang kuat meskipun baru berkisar 60%, maka status dapat ditingkatkan menjadi penyidikan.

Dalam masa penyidikan ini dilengkapi alat bukti hingga mencapai 90%, barulah ditetapkan siapa tersangkanya, dan penahanan sudah dapat berjalan dengan baik tanpa perlu khawatir atas praperadilan maupun atas putusan bebas dari pengadilan karena bukti sudah sangat kuat yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Tetapi karena alasan tertentu dari penyidik seperti khawatir tersangka melarikan diri, menghilangkan alat bukti dsb, bahkan yang tidak boleh kalau sudah ada kepentingan pihak tertentu seperti titipan, balas dendam, menjadikan pemeriksaan perkara pidana ini tidak lagi berlandaskan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum, untuk memperoleh kebenaran materil yang sesungguhnya Dalam kasus penetapan tersangka tindak pidana ini, teori hukum pidana sudah mensyaratkan, perbuatan yang dilakukan haruslah perbuatan yang nyata/faktual bukan terlihat dari gerak tubuh, perbuatan tersebut harus dilarang oleh undang-undang, maka dalam menilai perbuatan sudah sesuai dengan unsure-unsur pasal yang disangkakan, janganlah dilihat secara tekstual tapi kontekstual lebih utuh.

Misalnya penganiayaan pasal 351 ayat (1) KUHP, mengharuskan adanya kekerasan yang menimbulkan rasa sakit, lebam, memar, luka diancam 2 tahun dan 8 bulan. Perlu diperhatikan apa alasan Bu Liliwarni pedagang dipasar melawan BS ( preman yang diduga memeras menurut video yang beredar ) sehingga Liliwarni yang ditendang, dipukul melakukan perlawanan ada akibat luka cakar pada BS.

Apakah perbuatan Liliwarni yang melawan preman yang memerasnya sebagai perbuatan melawan hukum, ( ini unsur ke tiga dari tindak pidana ), tentu jawabnya tidak, karena ibu Liliwarni tidak berniat atau tidak bermaksud ( teori kesalahan ) untuk melakukan perlawanan yang berakibat luka cakar tsb, meskipun secara tekstual ada luka pada BS, tapi harus dilihat secara komprehensip dengan mengguanakan teori kausalitas, bahwa luka cakar tersebut bukan kehendak si korban pemerasan.

Karena itu perbuatan ibu pedagang pasar tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana maka seyogianya tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka, hanya berdasarkan pada visum yang menyimpulkan ada luka cakar, tidak menjelaskan aspek mensrea/kesalahan mengapa terjadi luka cakar tersebut. Dulu ada kasus dua artis yang berkelahi saling memukul, mencakar, menjambak dan kedua artis tersebut saling melaporkan dan keduanya dijadikan sebagai tersangka dan dipidana di pengadilan.

Penetapan sebagai tersangka bagi kedua artis sudah sesuai hukum, karena kedua pihak merasa setara/sejajar ingin lebih unggul ( hampir mirip dengan pertarungan duel perorangan pasal 182 KUHP ), kedua pihak saling menyerang, saling melakukan kekuatan physik, meskipun ada pernyataan dari masing2 pihak bahwa yang satu hanya membela diri, demikian juga yang lainnya.

Sebenarnya tidak ada pembelaan diri/noodwer, karena tidak memenuhi syarat pasal 49 KUHP, yang ada adalah main hakim sendiri/eigenrighting. Berbeda halnya dengan kasus ini, ibu Liliwarni adalh seorang Perempuan, hanya sebagai pedagang, dan merasa diperas, jadi tidak ada niat menyerang. Sementara BS adalah pria berbadan besar bahkan ditemani oleh dua pria lainnya ( masih dalam pencaharian polisi ). Karena itu lah, hasil pemeriksaan Polda Sumut disimpulkan penyidikan dengan penetapan tersangka oleh penyidik Polsek Percut Seituan Medan tidak profesional.

Maka langkah berikutnya idealnya adalah membatalkan penetapan tersangka tersebut dengan menghentikan penyidikan atas ibu Liliwarni melalui penerbitan Surat Penghentian Penyidikan (SP3). Jika tidak demikian halnya, maka bisa saja melalui kuasa hukum Ibu Liliwarni mengajukan gugatan Praperadilan dengan status Poldasu Termohon I, Poltabes Medan Termohon II dan Polsek Percut Sei Tuan sbg Termohon III. Tetapi dengan adanya tindakan tegas dari Kapoldasu yang mencopot Kapolsek menjadi hal yang tidak rasional adanya gugatan Praperadilan tersebut.*
Opini Terkait Pencopotan Kapolsek Percut Sei Tuan, Penyidik Harus Hati-Hati Dalam Menetapkan Tersangka