Dalam beberapa tahun terakhir kita menghadapi fenomena alam yang tidak biasa seperti kebakaran hutan di beberapa lokasi, kebakaran beberapa gunung, kekeringan, tsunami, likuifaksi, banjir, longsor, kapal tenggelam pesawat jatuh dll. Dan seperti yang kita ketahui semua bencana itu telah menelan banyak korban jiwa maupun materi. Bagi sebagian ilmuwan berbagai bencana itu mungkin adalah fenomena alam biasa karena berbagai faktor seperti global warming (pemanasan global) serta ketidak mampuan manusia dalam menjaga ekosistem dan keseimbangan alam.
Namun para kosmolog serta agamawan pasti memiliki persepektif yang berbeda tentang penyebab terjadinya bencana.
Semua fenomena alam itu adalah refleksi secara kosmos terjadinya perilaku manusia yang telah menyimpang dari kaidah-kaidah serta norma-norma moralitas serta norma-norma agama.
Sehingga bagi orang-orang yang beriman dan berakal, momentum banyaknya bencana ini menjadi alat untuk instropeksi serta kontemplasi bahwa secara kekinian kehidupan kita telah jauh meninggalkan shirotol mustaqim (jalan lurus) yang telah kita imani bersama, melalui nilai-nilai agama yang dianut oleh setiap pemeluknya.
Kehidupan permisif (serba boleh) yang diendorce, oleh kemajuan teknologi informasi turut mendorong manusia semakin jauh dari kaidah moralitas yang diyakininya seperti terjadinya perselingkuhan secara terang-terangan serta ghibah (bergunjing ) dan fitnah secara massal melalui media sosial dalam bentuk hoaks yang pada gilirannya diyakini menjadi sebuah kebenaran.
Ironisnya, seringkali tanpa sadar kita digiring untuk memberikan respon yang negatif atas berbagai berita hoaks itu.
Budaya hedonis sebegai turunan dari kapitalisme dan liberalisme di satu sisi serta kompleksitas kehidupan karena meningkatnya kompetisi hidup di sisi lain ikut memberikan kontribusi terjadinya pergeseran nilai dari masyarakat yang ramah dan kooperatif melalui budaya gotong royong menjadi masyarakat yang individualistik. Setiap individu berusaha membangun eksistensi secara artifisial melalui materi dan status sosial yang dimilikinya.
Sikap individualistik juga terjadi dalam dunia politik. Setiap politisi cenderung hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Secara empirik sering tercipta realita yang ironis.
Banyak politisi menggunakan isu-isu primordial dan sektarian untuk menarik konstituen, bahkan banyak partai yang menawarkan platform yang imaginer dan hayalan semata, untuk merayu para pendukung tetapi ketika menjalani proses pembagian kekuasaan para konstituennya yang telah ‘dibius’ dengan janji-janji palsu dengan mudahnya ditinggalkan.
Dengan mudahnya mereka meninggalkan para konstituen yang telah mendukungnya dengan cucuran keringat dan air mata, tapi kini semua pengorbanan itu dianggap tidak bermakna. Bahkan mereka seakan tidak peduli jika keberadaan mereka memanggul amanah yang amat berat yang yakni wakil rakyat untuk ikut mengawal proses jalannya pemerintahan yang berfungsi untuk menciptakan tatanan sosial yang adil sekaligus bisa menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat sebagai cita-cita tertinggi bangsa sesuai dengan sila kelima Pancasila.
Semua ikut hanyut dalam permainan politik yang esensinya adalah seni untuk memanfaatkan momentum dengan mengabaikan suasana batin para pendukungnya.
Apakah para politisi itu sesungguhnya ingin mengajari semua elemen masyarakat untuk ikut bermain politik yang cenderung mengabaikan dan tidak memiliki basis moral yang bernama tata karma dan konsistensi. Apakah mereka ingin mendidik masyarakat jika dalam politik yang konsisten itu adalah lnkonsistensi. Seakan semuanya halal jika yang menjadi patokan adalah tujuan akhir bukan proses.
Berhasil memiliki jabatan politik yang bergengsi dan materi yang melimpah seakan menjadi pencapaian puncak serta semuanya menjadi sah-sah saja, meski proses pencapainya harus melalui proses saling sikut dan saling jegal.Bila mereka masih kekeuh menganggap jika hukum kekuasaan itu menjadi ukuran satu-satunya, maka tunggulah hukum Tuhan dan hukum alam yang akan terjadi.
Dan setidaknya peringatan itu sudah banyak terjadi dengan terjadinya bencana alam di mana-mana.***